Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta
Tebal Buku : iv + 400 halaman
Cetakan : III, Oktober 2015
Pulang, adalah sebuah peristiwa yang menggetarkan bagi perantau setelah ribuan hari mengembara di tanah rantau dan merendam bergunung rindu pada keluarga dan suasana kampung halaman. Pulang, bisa jadi sebuah perjalanan spiritual menuju, seperti kata Midah, “…pulang kepada hakikat sejati yang ada dalam dirimu.” (hal. 24). Sebab dalam diri manusia ada satu titik di mana, menurut Psikolog Sufi, Robert Frager, dalam diri kita menyimpan percikan atau ruh ilahiah. Oleh sebab itu, pulang bisa juga bermakna berjalan menuju sesuatu yang sakral, yaitu Tuhan, seperti apa yang ditegaskan Tuanku Imam kepada Bujang pada halaman 340, “Agam, kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu…” Singkatnya, Pulang tidak pernah bermakna tunggal dan dalam novel ini Tere Liye dengan cerdik mengajak kita berpetualangan lewat plot-plot segar dan mengejutkan yang dibumbui bahasa renyah dan tegas untuk menemukan sendiri makna Pulang.
Ketika pertama kali melihat sampul novel Pulang, dalam benakku terbersit kesimpulan sederhana, yaitu pulang ke rumah atau ke kampung halaman. Bagaimana tidak. Dari sampul yang didesain unik: selembar kertas warna hijau sobek, dibalik sobekan itu bercokol sebuah pemandangan matahari tenggelam (atau terbit?) di ujung laut. Matahari inilah dalam imajinasiku seolah-olah menujukkan letak kampung halamanku.
Di bab Si Babi Hutan, imajinasi itu sempat hilang karena pada bab ini bukannya kita dihidangkan sebuah cerita tentang seorang perantau, tetapi tentang perburuan hama babi hutan yang berlatar di gelap-lembap rimba Lereng Bukit Barisan pedalaman Sumatra oleh rombongan dari kota yang dipimpin Teuke Muda melibatkan Bujang, anak Samad, dan beberapa pemuda talang. Babi-babi hutan itu diburu karena menjadi momok menakutkan yang selalu merusak tanaman para petani kampung talang. Di tengah gelap rimba Bukit Barisan inilah, melalui berburu babi hutan, darah remaja dan jiwa tukang pukul Samad yang mengalir dalam urat-urat Bujang sebenarnya sedang diuji oleh Samad dan Teuke Muda. Tidak dinyana-nyana, ternyata gen pemberani Samad terbukti dengan dikalahkannya induk semang babi hutan oleh Bujang seorang diri dengan tombak bapaknya. Dengan terbunuhnya raja babi hutan berukuran sebesar seekor sapi dewasa itu berarti juga nyawa Teuke Muda telah diselamatkan dari serudukan raja babi hutan beringas mematikan itu. Sejak saat itulah rasa takut dalam diri Bujang hilang sama sekali.
Di balik tujuan memusnahkan hama babi-babi hutan, perburuan itu ternyata terselip sebuah konspirasi terselubung antara Samad dan Teuke Besar, bapak Teuke Muda, yang sudah direncanakan jauh-jauh hari sebagai penebus hutangnya kepada Teuke Besar karena merasa tidak bisa menuntaskan tugas yang diamanatkan Teuke Besar kepadanya karena lumpuh kaki sebelahnya. Sebagai tebusannya, Bujang, anak satu-satunya dibawa ke kota, menjadi bagian dari Keluarga Tong yang sekarang dipimpin Teuke Muda sebagai Teuke Besarnya menggantikan bapaknya yang meninggal. Midah, istri Samad, yang tidak tahu tentang rencana itu harus mau meski hatinya menjerit dan tidak ikhlas melihat anak semata wayangnya jauh dari pelukannya. Hati ibu mana yang tidak menjerit melihat anaknya jauh dari kampung halaman, jauh dari pelukannya? Imajinasi bahwa novel ini adalah cerita tentang seorang perantau pun kembali hadir.
Hari itu Bujang meninggalkan kampung talang diiringi air mata mamaknya yang tentu tidak ikut bersamanya ke kota. Bujang tidak membawa apa-apa selain dua pesan mamaknya: tidak makan daging babi dan anjing, dan tidak minum tuak atau minuman yang diharamkan agama, yang dipeganggnya sampai cerita ini selesai. Kepergian Bujang menjadi alasan setiap malam Midah menangis karena merindukannya.