Wahai pembaca, anggap saja aku pemuja uang. Anggap saja aku matrek. Tapi ijinkan saya untuk cerita mengapa aku matrek.
‎
Kisah ini, anggap saja ga nyata (padahal nyata gitu lho).
2 orang di kampung. 1 anak orang kaya dan 1 anak miskin. Panggil saja oka dan omis.
Mereka berdua berteman lalu bersaing mencari pacar. Tentu saja karna bunga bangkai itu langka maka mereka hanya dapat berebut bunga desa.
Â
Orang tua si bunga tentu sangat bangga kalau si oka mendekati bunga yang baru saja merekah, menebar pesona harum perawan tak ternoda. Tapi namanya juga oka, ogah ah punya pacar satu.
Â
Si omis juga mendekati bunga, namun sayang sekali orang tua si bunga kurang setuju karena dibandingkan dengan si oka, omis tentu bukan apa-apa.
Â
Si omis tidak menyerah. Dia meminta nasehat si oka untuk mendekati bunga, dan sportifnya si oka mengajari omis mulai dari rayuan pulau kelapa sampai rayuan jurang maut.
Â
Berbekalkan rayuan, si omis nekat kembali ke rumah bunga untuk menebar pesona yang hanya sebatas kata.
Â
Mengetahui sahabatnya, si omis ada di rumah itu, si oka mengirim pembantunya ke rumah si bunga untuk menjemput si bunga dengan kereta kencana masa kini alias mobil.
Â
Supaya tidak tersinggung, orang tua si bunga menyuruh bunga masuk lalu ayah bunga menemani si omis mengobrol, sedangkan ibu si bunga dan bunga sendiri keluar dari pintu belakang untuk naik mobil si oka menuju rumah si oka.
Â
Si omis merasa mendapat angin segar karena ayah si bunga mau menemuinya untuk ngobrol dengan calon menantu , pikirnya sih begitu.
Â
"Oh ya, sebentar ya nak. Bapak mau pergi sebentar. Anak boleh tunggu disini kalau anak mau."
Â
Si omis makin besar kepala membayangkan si Bapak pergi meninggalkan dirinya dan si bunga yg harum semerbak itu. Kesempatan yang mungkin hanya sekali selama masehi, pikirnya gitu.
Â
Si bapak lalu masuk, mengunci pintu dari dalam dan keluar dari pintu belakang untuk menaiki mobil kedua kepunyaan si oka.
Â
Tunggu punya tunggu, si omis merasa cintanya diuji dengan menanti pujaan hati. 10 menit, 20, 30, 50 bahkan 1 jam lebih namun yang pasti adalah rumah itu kosong lagi sepi.
Â
Rasa lapar mulai menyerang, tadinya berharap bisa makan di rumah si bunga agar diterima dan lebih dekat, namun apa daya terpaksa si omis terpaksa membawa rasa laparnya di sepanjang jalan menuju ke rumah sederhananya.
Â
Ah, kebetulan...kan rumah si oka juga searah, jadi lebih baik aku mampir di rumah si oka. Toh aku sudah biasa makan di rumah si oka.
Â
Si omis pun membesarkan hatinya untuk bertemu dengan sahabatnya itu.
Â
Saat sampai dan mengetuk pintu rumah si oka, kebetulan sekali si oka yang membuka pintu dan mempersilahkan si omis masuk.
Â
Aroma makanan yang mewah dan nikmat itu menyeruak dari segala arah. "Wah, sepertinya ada pesta, bro!".
Â
"Ah, ga juga bro. Kan dah biasa gitu. Macam baru kali ini kau ke rumahku ini. Kau sudah makan?"
Â
"Bro, aku lapar sekali. Boleh aku makan disini?"
Â
"Ah kau ini, macem baru kali ini aja kamu makan disini. Silahkan, paling ntar aku kirimin tagihannya." canda si oka.
Â
Mereka berdua tertawa, bahagia.
Â
Sesampainya di ruang makan yang dihiasi lampu kristal bohemia dan peralatan makan keramik import dari china, si omis mendadak pucat.
Â
Ada 5 orang duduk makan disana; dan dia mengenal mereka semua: ada orang tua si oka, orang tua si bunga dan bunga sendiri.
Â
Rasa lapar yang sudah dari tadi menyerang ditambah pemandangan yang menghentikan detak jantungnya, membuat pandangannya berkunang dan menjadi gelap.
Â
Si omis menjadi lemas, lunglai dan seakan meleleh jatuh ke bumi. Untung si oka di belakangnya jadi dia langsung menangkapnya dan berkata "oh, maaf, teman saya mungkin terlalu lapar jadi lemas jadinya."
Â
Si oka membawa si omis ke kamarnya yang besar itu. Dengan menggoncang-goncang tubuhnya, si oka mencoba membangunkan si omis. Sedikit berhasil saat mata si omis terbuka sedikit. Namun suatu pemandangan membuat dirinya ingin menutup mata untuk selamanya: seorang gadis datang menghampiri dan memeluk serta mencium pipi sahabatnya itu.
Â
Ok, tentu saja si omis bukan gay yang sakit hati atas cinta si gadis kepada sahabatnya itu tetapi kenyataan yang membuatnya terpekur bahwa kekayaan bisa membeli segalanya termasuk cinta dan pujaan hatinya.
Â
So, mau dicintai? Jadilah kaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H