Mohon tunggu...
Abevi Claudia
Abevi Claudia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa pariwisata yang suka bercerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kuliah Lapangan Rasa Liburan: Bali dan Segala Ceritanya

2 Desember 2024   18:49 Diperbarui: 2 Desember 2024   18:49 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pura Batuan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Mulai dari Kuas dan Tinta di Desa Wisata Batuan
Perjalanan kami dimulai dengan mengunjungi Desa Wisata Batuan. Begitu sampai, kami langsung disambut oleh suasana desa yang asri dan damai. Pandangan saya langsung tertuju ke tempat kumpul kami yang berupa pendopo khas Bali. "Oke, sekarang kita jadi seniman!" kata salah satu instruktur.

Kami duduk berjejer di bawah saung, kuas di tangan, tinta hitam pekat di depan mata. Instruktur kami, dengan gaya santai tapi teliti, mulai menjelaskan teknik dasar mewarnai khas Bali. Saya, yang merasa cukup jago mewarnai sejak SD, awalnya percaya diri. Tapi, ketika garis-garis kecil di pola batik mulai terlihat seperti ular meliuk-liuk, saya menyerah. “Ini bukan cuma soal warna, tapi harmoni,” katanya. Tiba-tiba, saya merasa jadi seniman amatir yang clueless tapi saya rasa ini akan sangat menyenangkan!

Setelah karya “masterpiece” saya selesai (atau lebih tepatnya, gagal total), kami lanjut ke Pura Batuan. Begitu melangkah masuk, suasana langsung berubah. Dari suasana santai di workshop melukis, kini kami dihadapkan pada aura yang lebih serius—sakral, tenang, dan penuh cerita. Pura Batuan bukan sekadar tempat ibadah; ia adalah pengingat akan sejarah panjang dan kepercayaan mendalam masyarakat Bali.  Di tengah keheningan, aroma dupa yang terbakar pelan-pelan memenuhi udara. Asap tipisnya melayang, menambah dimensi lain pada pengalaman kami. Ukiran-ukiran rumit pada tubuh pura ini cukup membuat kami penasaran apa makna dibalik gambar-gambar tersebut. Beberapa teman memotret dan berpose di area pura, tapi kebanyakan dari kami hanya berdiri menikmati suasana, terpaku pada harmoni yang diciptakan pura ini. 

Foto Tari Topeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Foto Tari Topeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kemudian, sore itu, kejutan baru datang di pertunjukan tari topeng. Penarinya yang merupakan seorang laki-laki yang biasanya dipanggil dengan sebutan “Bli” itu menari dengan sangat mempesona, setiap gerakan terasa hidup. Tapi sorotan utama hari itu? Saya ditunjuk untuk ikut tampil dan naik ke atas panggung! Saya diminta “akting” naik motor. Bayangkan ini: saya maju ke tengah panggung, pura-pura naik ke atas jok motor, dan mengikuti pergerakan Bli itu seolah saya sedang naik ojek! Teman-teman saya tertawa keras menyaksikan itu, tapi penonton terlihat puas.

Setelah itu, kami diajari beberapa suara dasar dalam pertunjukan kecak. Ternyata, suara “cak-cak-cak” itu nggak cuma asal, ada irama yang harus diikuti. Gerakan dalam tari kecak memang cukup sederhana, namun gabungan dari suara-suara yang dikumandangkan membuatnya terasa sangat megah dan ramai. Sore itu, tubuh sangat lelah, tetapi hati ini sangat puas.

Pantai Kuta: Surga di Tengah Keramaian

Foto Pedagang di Pantai Kuta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Foto Pedagang di Pantai Kuta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Hari kedua di Bali, Pantai Kuta menjadi destinasi pertama kami. Dari jauh, terlihat pantai panjang dengan ombak yang menggulung-gulung. Kami diberi waktu bebas untuk eksplorasi, jadi saya langsung melepas sandal dan jalan-jalan di pasir.

Apa yang membuat Pantai Kuta berbeda? Energinya! Pantai ini seperti panggung besar di mana semua orang punya peran. Di satu sisi, pedagang kaki lima sibuk menawarkan es kelapa muda, jagung bakar, atau pernak-pernik khas Bali, sambil bercanda ramah dengan wisatawan. Di sisi lain, turis dari berbagai penjuru dunia tampak santai, ada yang duduk di bawah payung sambil membaca buku, ada yang asyik menikmati pijat pantai. Di garis ombak, anak-anak berlarian sambil tertawa riang, membangun istana pasir yang kadang kalah cepat runtuh dibanding deburan air.

Dan jangan lupakan suara khas Pantai Kuta: campuran antara musik akustik dari café tepi pantai, obrolan turis dalam berbagai bahasa, dan gelegar ombak yang terus menghantam pantai. Semua elemen ini menciptakan suasana hidup yang bikin Pantai Kuta terasa seperti pusat energi yang tak pernah habis, sebuah tempat di mana setiap orang menemukan ruangnya untuk menikmati kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun