[caption id="attachment_102109" align="aligncenter" width="500" caption="Foto dipinjam dari KOMPAS (Agus Susanto)"][/caption] Luapan bendungan Jatiluhur seminggu terakhir sampai ketinggian 108.43 diatas permukaan laut, melahirkan kebijakan untuk membuang luapan air tersebut ke aliran sungai Citarum. Alhasil, sungai Citarum meluap luar biasa dan wilayah-wilayah yang dilewati sungai ini terendam banjir selama hampir seminggu lebih, terhitung sejak 18 Maret 2010 sampai saat tulisan ini dibuat (25 Maret 2010). Ada 3 pintu air saat ini yang mengalir dari Jatiluhur ke CItarum. Pertama adalah pintu air utama yaitu langsung menuju Citarum. Kedua adalah pintu air Tarum Barat yang mengalir ke Kalimalang. Terakhir adalah pintu air Tarum Timur yang mengalir ke Cikampek sampai Cilamaya (Karawang Timur). Kebijakan antisipasi luapan air bendungan Jatiluhur saat ini adalah membuka pintu air total ke sungai Citarum. Sedangkan 2 pintu lainnya, Tarum Barat (Kalimalang) dan Tarum Timur tetap tertutup. Banyak warga Karawang yang mengeluh dan memprotes kebijakan ini. Sebagian besar dari mereka menganggap ditutupnya pintu Kalimalang karena pemerintah ingin menyelamatkan Jakarta dari kebanjiran dan lebih memilih mengorbankan Karawang sebagai pembuangan air. Asumsi negatif mereka di situasi seperti ini bisa dikatakan wajar, bisa saja itu karena sifat manusia yang panik dan ingin menyelamatkan dirinya dari musibah. Kemarahan bukan hanya disebabkan oleh itu saja, pihak pengelola Jatiluhur pun tidak ada pemberitahuan sebelum pintu air Citarum dibuka, sehingga warga banyak yang "kaget" saat banjir mendatangi wilayahya. Sampai saat ini pun mereka tidak tahu apa yang terjadi di Jatiluhur dan tetap termakan isu-isu mencekam soal Jatiluhur yang membuat mereka bertambah panik. Bukan Bencana Nasional Banjir selama 2 - 3 hari dikatakan masih bisa normal, tapi untuk hitungan minggu, bukan hanya segi ekonomi yang lumpuh, tapi juga menjadi sarang empuk bagi wabah penyakit. Di segi pendidikan, Ujian Nasional (UN) yang seharusnya berjalan normal seperti sediakalanya, nampaknya tidak bisa diikuti para siswa dengan tenang. Terbesit di benak para siswa keadaan rumah mereka selagi ujian berlangsung. Belum lagi sekolah-sekolah yang ikut terendam banjir, terpaksa melangsungkan UN di tempat lain yang tidak terkena banjir. Lebih miris saat membaca artikel di KOMPAS.com yang mengutip pernyataan MenSos perihal musibah ini. Beliau mengatakan bahwa bencana ini belum disebut bencana nasional karena masih bersifat lokal dan dapat ditangani pemerintah daerah (Lihat). Lalu definisi apa yang bisa disebut bencana nasional? Jika harus menelan korban, dan wabah penyakit menyebar ke penjuru wilayah mungkin barulah pemerintah pusat akan turun tangan dan menunjukkan empati "buatan" didepan media massa untuk menunjukkan "betapa pedulinya saya akan musibah ini". Dan seperti umumnya pejabat tinggi, perkataan yang keluar adalah "Saya turut bersimpati atas musibah ini bla bla bla...". Belum lagi selalu saja ada ide untuk mengambil keuntungan diatas musibah orang lain. Menurut berita di elshinta, dikatakan bahwa pemerintah sedang membentuk pansus untuk normalisasi DAS Citarum dengan dana 1,27 Triliun (Lihat). Ini bukan hal yang diperlukan saat ini, prioritas untuk menangani korban banjir dan menangani luapan di jatiluhur seharusnya diutamakan. [caption id="attachment_102141" align="aligncenter" width="500" caption="Peta Kejadian Bencana Banjir Per 23 Maret 2010"][/caption] Apa yang dibutuhkan korban? Bantuan pangan, air bersih, obat-obatan dan tempat pengungsian yang layak rasanya tepat untuk situasi saat ini. Bahkan beberapa relawan yang bersedia membantu saat ini kesulitan dalam segi transportasi untuk menyalurkan bantuan dari beberapa dermawan, karena sulitnya menjangkau beberapa wilayah yang terkepung banjir. Di segi psikologis, warga memerlukan informasi yang akurat dan cepat tentang perkembangan yang terjadi soal situasi bendungan Jatiluhur saat ini dan curah hujan dari Bandung dan Purwakarta. Selama ini mereka mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, sms dari kerabat dan melalui grup di facebook (Lihat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H