Ramai diperbincangkan Bripda Muhammad Taufik Hidayat, polisi muda yang membuat bangga, hidupnya sederhana, dan baru bekerja, sampai saat ini belum merasakan gajian pertama. Berangkat kerja berjalan kaki karena jangankan punya uang untuk beli motor, untuk bayar angkot, untuk makan siang pun tidak ada.
Dulu punya uang karena ikut mencari pasir di kali bersama ayahnya, yang selama menjalani pendidikan polisi tentu tidak lagi dapat dilakukannya. Sedangkan hasil kerja ayahnya juga belum layak mencukupi kebutuhan keluarga. Gaji pertama yang belum diterima pun, sudah dia anggarkan untuk nanti mengontrak rumah yang layak untuk orang tua dan adik-adiknya, agar tidak lagi tinggal mengontrak di bekas kandang sapi.
Tinggal di pelosok Sleman, bertugas di Mapolwil DIY, 7 kilometer tiap hari berangkat dan pulang berjalan kaki, menarik perhatian orang senegara, termasuk Gubernur DKI Jakarta. Terbaru Bapak Wakapolri Badrodin Haiti juga membanggakan seorang Bripda Taufik yang menjadi "bukti bahwa masuk polisi tidak bayar dan semua orang mempunyai kesempatan yang sama, tanpa diskriminasi, untuk menjadi polisi."
Lhoh, memangnya untuk masuk menjadi Polisi harus membayar? Sehingga repot-repot memberikan bukti, atau begitu senang dan bangga menemukan bukti bahwa masuk polisi tidak bayar? Begitulah otomatis reaksi masyarakat umum Indonesia yang suka membalik kondisi setiap pernyataan orang lain, bahasa kerennya di kompasiana mungkin argumen straw man fallacy.
Seperti untuk masuk perguruan tinggi negeri, masuk ke perusahaan, masuk ke kabinet, masuk ke kepolisian harus melalui seleksi yang ketat. Hanya para calon yang memenuhi semua persyaratan yang dapat diterima. Dari sekian banyak yang memenuhi persyaratan, diseleksi lagi karena lowongan yang tersedia terbatas. Lalu yang lolos seleksi menjalani pendidikan kedinasan, dan bila bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik, baru bertugas sebagai polisi sesuai dengan tingkat jabatannya.
Bukti masuk polisi tidak bayar yang perlu ditunjukkan ini, tentu untuk melawan "bukti" atau "realita" masuk polisi itu bayar sekian pulu juta, ratus juta, milyar sesuai tingkatannya. "Realita" lain, untuk diterima menjadi PNS itu perlu dana puluhan, ratusan juta, sesuai tingkatan dan kondisi kelembaban suatu posisi, kering, basah, banjir. Meski semua persyaratan sudah terpenuhi, dan sudah lulus ujian seleksi, ada "urusan" akhir yang harus dikompliti.
Ada lagi "realita" mengurus dokumen di segala kantor dinas di semua departemen harus pakai duit. Persyaratan lengkap saja pakai duit. Ingin lebih cepat berarti duitnya harus lebih. Syarat tidak lengkap tetap bisa dibantu, dengan duit extra charges. Permohonan yang melanggar peraturan, bisa diatur cara menikung melewati aturan dengan charges extra plus plus. Semua didasari rasa kekeluargaan yang suka tolong menolong saling membantu orang lain yang sedang kesulitan.
Sebagai orang Indonesia yang orang timur, mosok sudah dibantu diuruskan dokumennya, tidak tahu berterima kasih? Dan bila orang datang menyampaikan suatu bentuk terima kasih, mosok ditolak? Kan tidak sopan menolak ucapan terima kasih orang lain. Apalagi bila terima kasihnya berbentuk suatu rejeki, tidak baik menolak rejeki dari Allah. Seindah dan semulia itu pemikiran orang Indonesia.
"Realita" ini bagian kecil dari 'realita' keseluruhan kehidupan bernegara yang serba pakai uang untuk segala urusan. Urusan yang wajar, yang telah dipenuhi semua persyaratannya saja pakai uang. Karena petugas yang mengerjakan dokumen itu juga manusia, punya rasa capek.
"Realita" semua urusan serba pakai uang itu hanya isyu, tidak nyata, tanpa bukti. Siapa yang bisa memberi bukti? Saya? Anda? Alasan kondisi tersebut seperti kentut yang nyata baunya tiada bentuknya. Yang tiada bentuknya, secara ilmiah berarti memang tidak ada. Tinggalkan cara berpikir klenik nenek moyang, hanya membuat kemunduran bagi kita di kehidupan masa kini yang modern.