Mohon tunggu...
Inin Nastain
Inin Nastain Mohon Tunggu... lainnya -

Nikotin, Kafein, http://atsarku.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Sinting...??

5 Februari 2011   14:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12969161111246813449

“Ren, aku cinta kamu” kataku waktu itu, saat ketemu Renjani yang ketiga kalinya. Setelah ngucapin kata-kata itu, beban ku sedikit berkurang. Ya, beban memendam rasa yang selama ini ku simpan. “Sinting kamu, ya…. Berani-beraninya ngomong gitu” kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir perempuan yang selama ini aku puja-puja. Ah…. Andaikan saja aku tidak secepat itu ngomong “Ren, aku cinta kamu,” mungkin akan beda jawaban yang aku terima. Minimalnya, Renjani tidak akan ngomong seperti itu…. tapi, aku ngga mau terlalu berandai-andai lebih jauh. Karena andaian itu, hanya akan membuat aku lupa.

Lelah rasanya badan ini, setelah lima jam aku habiskan di atas kasur tipis, dalam kamar ukuran 2×1 m ini. Meskipun udah larut malam, namun mata belum juga mau untuk diajak tertutup. Kata-kata kemarin siang masih sulit untuk aku lupakan. Terlalu berat untuk bisa aku enyahkan dalam waktu singkat. Angin dingin di luar menuntun aku untuk segera melangkahkan kaki, membiarkan tubuhku diperkosa oleh dinginnya yang membanting tulang rusukku, yang semakin hari semakin menonjol keluar.

[caption id="attachment_87538" align="alignleft" width="300" caption="Gambar dapet pinjem"][/caption] Entah ke arah mana mata angin yang ingin aku tuju. Sadar-sadar ketika aku pas di lampu merah. Tanpa sengaja, aku melihat sesosok tubuh yang sangat aku kenal. Sesosok tubuh yang selama ini aku kagumi, yang aku angan-angan kan bisa aku ajak ke rumah untuk dikenalkan ke orang tuaku. Ya, dia adalah Renjani. Angin malam, seakan membisikanku untuk segera mengikuti langkah lari kecil sosok dengan tinggi 169 cm itu. Seperti sadar ada yang mengikuti, sekitar 10 meter dari kostan tempat dia tidur, dia menoleh ke arah ku. Aku sengaja tidak berusaha untuk ngumpet. Malah aku mencoba untuk tersenyum ke arahnya, tanpa aku tau, apakah dia melihat senyumanku, atao tidak. Dan kalaupun dia melihat senyumanku, aku tidak tau pasti, apakah dia sadar kalau senyuman itu adalah milikku atau tidak. Lima menit kemudian, sosok yang aku idam-idamkan untuk bisa aku kenalkan ke orang tuaku itu, hilang di balik pintu. Namun aku masih belum mau untuk segera nyingkrah dari tempat aku tersenyum tadi. Aku baru berminat untuk meninggalkan tempat itu, setelah petugas roda menyapaku….”Udah ngga ada Mba nya Mas, dah masuk kamar…” aku ngga tau, sejak kapan Mas-mas petugas ronda itu merhatiin aku, sampe dia tau kalau aku merhatiin si Mba Mba itu, ya, Mba Renjani… “Oh, iya Mas… makasih” jawabku sekedar untuk menutupi grogi ku karena katauan lagi merhatiin kamar Renjani, yang sudah mulai temaram. Pagi hari aku dapet tugas presentasi mata kuliah Perempuan dalam Sejarah (Islam dan Barat). Kata-kata kemarin, dan kejadian tadi malem, sedikit memudar di tengah-tengah asyiknya perdebatan saling lempar argument, argument normative dan argument yang coba dinalarkan. Dua jam sudah perdebatan  usai, meskipun masih banyak hal yang belum kelar. Dan kita sepakat, perdebatan akan dilanjutkan sore hari setelah ashar, di kebun depan kampus, kebun yang atas kreasi mahasiswa, mampu disulap untuk menjadi Gedung terbuka. Di sana, kita kadang-kadang tanpa sadar sudah duduk berjam-jam. Satu-satunya yang membuat kita sadar sudah menghabiskan 7 jam duduk adalah, dari banyaknya puntung rokok yang menumpuk di kardus bekas air mineral gelas. Niat semula mau nyari bekal untuk perdebatan lanjutan ke perpustakaan. Tapi, sebelum sampai ke perpustakaan, aku berpapasan dengan Bapak Waryono, sang navigator Perpus. “Tutup, Mas…. Mau ada rapat….” Aku ngga berusaha menjawab, karena aku rasa dia pun ngga ngarepin aku ngejawab. “Terimakasih, Pak” entah, dia nyadar apa ngga kalau aku ngucapin terimakasih. Dari pada ntar sore dibantai, aku coba nyari temen-temen ku untuk sekedar nguntit bukunya. Youp, akhirnya dapet juga, lumayan, empat buku. Dengan empat buku, ditambah lagi koleksiku, aku yakin ngga bakal dipukul telak oleh lawan-lawanku ntar sore. Satu tempat yang aku tuju, kebun kampus. Di sana, mahasiswa biasa ngabisin waktu sambil nunggu kuliah selanjutnya, atau nunggu acara-acara yang mereka jadwalkan. Tempat itu ngga pernah sepi dari mahasiswa. Tempatnya sangat memungkinkan untuk datangnya inspirasi, begitu kata temen-temen theater. Belum juga aku ngabisin satu buku karangan Fatima Mernissi, lagi-lagi aku diusik oleh tubuh yang selama ini jadi inspirasiku. Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan obrolanku dengan Fatima dan kawan-kawan, hanya untuk sekedar bisa nge-buntut-in dia lagi. Setelah dia hilang dibalik tikungan kampus, aku baru berani meninggalkan tempat parkir dan bergegas ke tempat semula, kebun kampus. Setelah beres ke kantin kampus, sekedar untuk mengganjal perut dengan dua gorengan, satu gelas kopi, dan berbekal kertas papir, sekaligus tembakau, aku kembali ke kebun kampus. Dan ternyata, di sana udah banyak temen-temenku. Dan…sumpah, di sana ada juga seorang perempuan yang tadi malem aku ikutin sampai kost, dan tadi juga aku buntutin sampe parkiran, bahkan kemarin pernah ngomong “SINTING” ikut juga hadir di sana, dengan tumpukan buku. “Telat, Mas….” Salah satu temen yang dah duluan hadir, coba nyapa aku. “Biasa abis cari bekel dulu” jawabku sambil ngeluarin kertas dan tembakau yang baru aku beli di kantin tadi. “Ini lho, yang bikin aku telat” kataku, sambil sedikit ngelirik ke arah perempuan yang aku kasih nilai 7 untuk fisiknya itu. Dia keliatan lagi asyik dengan bukunya. Teng jam 16.00 WIB, perdebatan perpanjangan waktu, mulai berjalan. Dan perdebatanpun sudah mulai memanas. “Setiap melihat sesuatu, tidak bijak kiranya kalau kita hanya mendasarkan pada teks semata. Perlu bagi kita untuk memperhatikan konteks pada saat teks itu lahir, asbabun nuzulnya. Sehingga, teks itu akan terus berlaku di manapun dan kapanpun. Selain itu, kita juga perlu kiranya memperhatikan beberapa disiplin dalam memecahkan berbagai maslaah. Tidak cukup hanya satu disiplin saja. Dengan demikian, diharapkan, islam yang rahmatan lil 'alamin dapat terwujud. Begitu juga kaitannya dalam hal pernikahan, khsususnya Perempuan. Karena berbagai alasan yang mengelilinginya, sehingga pada awal Islam, Poligami dibolehkan (bukan disunahkan). Tapi, seiring dengan perkembangan zaman, tidak bijak kiranya kalau kita masih membolehkan poligami secara muthlak, tanpa syarat dan ketentuan apapun. Bukankah Kanjeng Nabi marah, ketika mendengar Sahabat Ali, menantunya berniat akan mempoligami putri beliau?” panjang lebar aku mencoba mengungkapkan gagasanku. “Saya rasa, kebolehan poligami itu sifatnya kondisional. Poligami baru boleh ketika ditemukan syarat-syarat seperti yang tercantum dalam an-Nisa (4) ayat 3. Dan ketika kita bicara asbabub an-nuzul dari ayat poligami, jelas di sana, secara subtantif, ayat tersebut berbicara tentang penjagaan terhadap anak yaim dan hartanya. Di sana dijelaskan, sebagian wali dari anak yatim perempuan, berniat jahat, yakni dengan cara, kalau si anak yatim itu cantik, maka ia akan menikahinya dengan tanpa memberikan hak-hak anak yatim secara benar. Mereka tidak memberikan mahar sebagaimana mestinya. Dan mereka akan memperlakukan anak yatim itu dengan semena-mena. Dan kalau tidak cantik, maka ia akan menahan anak yatim itu untuk menikah, dengan harapan, kekayaannya bisa mereka kuasai. Dari pada berlaku tidak adil kepada anak yatim, maka menikah sajalah kalian dengan satu, dua, tiga atau empat perempuan.  Tapi dengan catatan, harus mampu berbuat adil. Adil dari segi materi, dan adil dari segi kasih sayang.” Ya, itu sebuah pemikiran yang dikeluarkan Renjani “Kalau kita mau jujur, dalam tarikh, dijelaskan Istri-istri Nabi seluruhnya janda, yang secara fisik, maaf, sudah kurang menarik. Hanya satu istri Nabi yang perawan, Siti A’isyah. Padahal dalam hadis, Nabi pernah menyerukan kepada ummatnya untuk menikah dengan perawan. Kita lihat pesan moral di sana. Istri Nabi yang dinikahi secara poligami, hampir seluruhnya orang-orang yang memiliki strata rendah. Di sini jelas, sisi kemanusian menjadi alasan Nabi untuk melakukan poligami” Panjang lebar, Renjani coba menjelaskan argument dan pandangnnya tetang perkawinan poligami. Dengan susunan kata yang luar biasa dan gaya bahasa yang agung dia sampaikan pesan-pesan Tuhan…. Perempuan yang luar biasa…… Sekitar 15 menit menjelang maghrib, diskusi kami rampung. Seperti biasa, setelah sengit beradu argument, di sesi paling akhir, kami berjabat tangan salaman. Pada saat salaman itu, aku sempetkan untuk melempar senyum ke sosok Renjani, yang pada sore itu aku rasa tampil dengan sempurna. Renjani….. bener kata-katamu AKU MEMANG SINTING… DAN AKU AKAN LEBIH SINTING LAGI…… ASAL KAMU TAU, KAMU YANG BIKIN AKU SINTING!!!!!!!!!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun