Mohon tunggu...
Inin Nastain
Inin Nastain Mohon Tunggu... lainnya -

Nikotin, Kafein, http://atsarku.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Perlu Mengucap Janji

4 Januari 2016   22:19 Diperbarui: 4 Januari 2016   23:06 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam sudah semakin larut. Hewan-hewan malam sudah sejak satu jam tadi menggelar pesta. Saling sahut seolah-olah tidak mau ada hewan lain yang mengalahkan nyaring suaranya.
Di sebuah kamar salah satu rumah, Mirna masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah sudah berapa kali dia mencoba menuliskan beberapa baris kalimat sebelum akhirnya tekan tombol ctrl+a dan delet. Ada ribuan pikiran yang bergelayut di kepalanya.
Malam itu adalah tepat malam terakhir batas waktu yang dia buat sendiri. Batas waktu yang dijanjikan pada Randu, laki-laki yang minggu kemarin pernah mengungkapkan cintanya. “Aku nggak bisa jawab sekarang, Randu. Beri waktu aku. Minggu depan, aku kasih jawaban,” ucapnya sebagai jawaban atas pernyataan cinta Randu, kembali menari-nari di kepalanya.
Ada alasan yang cukup kuat bagi Mirna atas jawaban yang diucapkannya itu. Sebagai seorang perempuan dewasa normal, ia memang harus jujur bahwa sebenarnya ada rasa pada sosok laki-laki yang ia kenal setahun lalu itu. Tapi dia tidak mau terburu-buru.
“Iya, tidak apa-apa. Saya akan tunggu kamu. Selama masa menunggu itu, masih mau merepotkan aku kan?”
Jawab Randu saat dia meminta waktu. Jawaban yang diam-diam menggelitik hatinya. “Kenapa coba harus ada Selama masa menunggu itu, masih mau merepotkan aku kan. Bukannya bikin kata-kata yang romantis, malah ngeledek” batin Mirna suatu malam.
Tapi diam-diam, kalimat itu mencuri perhatiannya. Bagi dia, kalimat itu cukup unik, sekaligus konyol. Kalimat yang belum pernah ia dengar dari laki-laki manapun yang pernah menembak sebelumnya. “Laki-laki yang aneh,” batinnya kala itu, sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum manis tersungging dari bibirnya yang ranum.
“Baik lah, sekarang aku sudah dapat jawabannya. Aku sudah yakin dengan keputusanku. Besok, aku akan sampaikan jawabanku, Mas,” bisiknya dengan pasti.

#########################

Jam di dinding kamar tidur Mirna baru menunjukan pukul 07.00 WIB. Tapi dia sudah terlihat rapi, siap berangkat ke kampus. Rok panjang warna hitam, kemeja batik lengan pendek yang ia kenakan hari itu, semakin menyiratkan aura kecantikan mahasiswi yang kini sedang mengerjakan tugas akhir itu.
Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai. Hari itu, dia ada janji dengan dosen pembimbing untuk konsultasi, pukul 09.00 WIB. Tapi sebelum bertemu dengan dosen, ada janji yang juga tidak kalah penting. Janji yang sudah dia buat sejak seminggu lalu.
Sambil menyusuri trotoar, dendang kecil mengiringi setiap langkah kaki indahnya. Mukanya begitu berbinar-binar, seperti tidak sabar untuk sampai ke tempat mangkal angkot yang akan mengantarnya sampai ke angkot selanjutnya. Di tempat itu lah, dia biasa bertemu dengan Randu, laki-laki yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikirannya.

#########################

“Hallo, selamat pagi Nona,” sapa seorang pria mengagetkan kekhusyuannya membaca buku. Senyum khas pemilik suara yang sudah sangat dikenal itu mengembang, ketika perempuan yang disapa ‘nona’ itu menoleh ke arahnya.
“Selamat pagi mas. Silakan mas, duduk. Nggak ada yang punya kok tempat duduknya,” jawab Mirna membalas sapaan iseng Randu. Senyum manisnya terukir di bibir indahnya.
“Terimakasih Nona. Nona mau nanya tentang apa yang akan saya lakukan hari ini nggak? Hari ini saya akan dapat jawaban atas ungkapan jujur yang pernah saya sampaikan kepada seorang perempuan,” masih dengan iseng, Randu membuka pembicaraan. Kini, kedua orang itu sudah duduk berdampingan di sebuah bangku warna cokelat di pinggir jalan.
“Randu,” panggil Mirna dengan lembut.
“Mirna,” timpal lak-laki berbaju kemeja dan celana jeans warna hitam itu.
“Kamu mau ngucapin janji dulu nggak sebelum aku jawab. Ya, janji apapun itu lah,” lirihnya tanpa menghilangkan kelembutanya. “Tapi itu juga kalau jawabankau ‘iya’ ya,” lanjutnya kemudian.
“Aku janji, aku akan mencoba tidak hanya mengucap janji. Aku tidak bisa ucapkan janji itu, saat ini. Biarkan kebersamaan kita nanti, mengukir apa yang sebenarnya kita inginkan, tanpa harus diucapkan dengan vulgar, Mirna,” ucap Randu dengan pandangan lurus ke depan.
“Maksudnya?” tanya Mirna dengan alis mengkerut. Raut muka yang sebelumnya berbinar-binar, kini berubah dengan kebingungan.
“Janji ku, ada di sini. Nanti kamu akan tau dengan sendirinya. Aku tidak pandai untuk menerjemahkan apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan," jawab Randu sambil meraba dadanya. Suaranya masih pelan dan tetap dengan pandangan yang tertuju ke depan.
“Kamu itu ya,” timpal Mirna kemudian mencubit tangan laki-laki di sampingnya itu.
“Randu,” sapanya kemudian. “Mulai detik ini, aku akan mencari sendiri apa yang jadi janjimu. Mencari di sana,” ucap Mirna sambil mengarahkan telunjuknya ke dada Randu.
“Randu, liat ke sini dong, ke arahku,” kini, dia mulai berani merengek manja.
Bola mata mereka kini beradu. Ada senyum tergurat dari bibir kedua insan berlainan jenis itu. Ada perasaan yang sungguh sangat menderu di hati keduanya. Perasaan yang berapi-api tentang sebuah rasa yang agung. Rasa yang tak seorang pun tahu maknanya. Setan pun tidak

Sumber foto: https://www.facebook.com/groups/desarangkat/ (Mari berkunjung ke Desa Rangkat)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun