Berdiam diri, tanpa ada aktivitas melanglang buana ke berbagai daerah, sungguh sangat menyiksa Sandoro. Kurang lebih dua tahun, Sandoro praktis berhenti dari kegiatan yang sudah digelutinya sejak masih duduk di bangku SMA itu. Kejadian pada pertengahan musim kemarau, membuat Sandoro berhenti sementara dari hobi yang sering dicibir kawan-kawannya itu. Kini, setelah dua tahun berlalu, Sandoro mulai memutuskan untuk kembali melakukan perjalanan yang membuatnya bisa mengenal berbagai karakter manusia.
Rayya, perempuan dengan mata lentik dan rambut terurai sebahu, akan menjadi teman Sandoro selama perjalanan kali ini. Hati Sandoro sebenarnya menolak saat Rayya, perempuan dari kota sebelah, mengungkapkan keinginannya untuk ikut serta. Namun, rengekan perempuan dengan mata berlensa itu, akhirnya meluluhkan hati Sandoro.
Perjalanan Sandoro dan Rayya memasuki hari ke dua. Sepanjang jalan yang dilalui, Rayya tidak pernah berhenti melempar tanya kepada laki-laki yang ada di sampingnya itu.
"Duduklah. Kasihan kaki indahmu, entar lecet," kata-kata Sandoro terasa menghujam dada Rayya. Nyeri di kakinya karena berjalan beberapa kilo meter memaksanya melangkah mengikuti arah telunjuk Sandoro. "Nggak usah maksa. Kamu itu terbiasa terima jadi segalanya. Jangankan berjalan berkilo-kilo, pegang penggorengan aja, kamu nggak pernah." Masih terngiang jelas kata-kata Sandoro saat dirinya memaksa ikut serta di perjalanan laki-laki dengan hidung sedikit mancung itu.
Bibir sensualnya nampak meringis ketika jarinya mengusap lecet di telapak kakinya. Secara samar, ekor matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. "Minumlah. Aku nggak mau kamu dehidrasi. Repot aku, kalo harus menggendongmu. Pinggangmu itu bikin 'beban' kalo harus aku gendong" sapa Sandoro sambil menyerahkan sebotol air mineral.
"Sialan! Kau tertarik dengan pinggulku!" balas Rayya. Diam-diam, hatinya merasa senang dengan ucapan Sandoro tentang pinggulnya itu.
Pengalaman pertama kali berjalan cukup jauh, membuat Rayya benar-benar letih. Selama ini, mobil mewahnya selalu siap mengantarkan ke manapun dia pergi.
“Kenapa? Cape? Nyerah?” tanya Sandoro sambil mengisap rokok kreteknya.
“Hehehe…. Kamu, kok, hobi melakukan aktivitas yang menguras tenaga seperti ini?” Rayya malah balik bertanya dengan senyum kecut.
25 menit mereka rehat di pinggir sungai yang nampak rindang dengan pohon mangga yang cukup lebat itu. Selama rehat, tak henti-hentiny bibir Rayya berceloteh tentang hoby laki-laki yang ada di sampinnya itu.
“Sudah hilang letihnya? Kita jalan lagi” kata Sandoro sambil bersiap dengan ransel lusuhnya.
“Sebentar, sebentar. Aku kebelet. Tunggu 15 menit ya” jawab Rayya meringis. “Tapi bagaimana mungkin aku lakukan di sini?” lanjut Rayya sambil memegang bagian bawah perutnya.
“Tujuh meter dari sini ada tempat yang bisa kamu gunakan untuk menuntaskan hajatmu” jawab Sandoro.
“Hah? Ngga salah? Gila kamu ya,” timpal Rayya dengan mata melotot protes.
“Aku hanya tidak ingin, sepulang dari perjalanan ini, kamu masuk Rumah sakit dan harus dioprasi karena menahan kebeletmu itu” kata Sandoro mulai tidak sabar.
Sadar dengan gelagat tersebut, Rayya memutuskan untuk mengikuti saran laki-laki aneh yang baru dikenalnya itu. Mengikuti dengan penuh keterpaksaan. “Sialan. Kamu laki-laki yang pertama kali menyuruh aku melakukan hal bedebah seperti ini,” gerutu Rayya. Rasa jijik karena harus menyingkirkan rumput-rumut liar coba ditepis Rayya. “Kalau tidak takut resiko yang mungkin terjadi akibat nahan kebelet, tidak mungkin aku ikuti saran mu bedebah” umpat Rayya pada Sandoro. “Tapi dari mana dia bisa tahu kalau nahan kebelet bisa berdampak terhadap kesehatan, ya?” lanjutnya
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H