Lelaki itu masih diam terpaku di tengah-tengah meraba-raba antara mimpi atau nyata. Dari sudut matanya, mengirim sebuah isyarat pada hati tentang sebuah keterjagaan. Lama dia termangu di sudut yang masih samar itu.
Sekilas, asanya membungbung tinggi, meraih tentang sebuah nama yang selama ini berdiam mengisi sisi-sisi di sebuah ruang-ruang yang sedikit demi sedikit mulai teraliri rindu, yang kadang menyesakkan. Namun, keraguan sering kali datang, ketika sisi ruang lain membisikkan tentang sekat-sekat antara mimpi. “Aku belum bisa membedakan apakah ini mimpi atau nyata,” lirihnya di-tengah-tengah kerinduan yang beku.
Sekejap laki-laki itu mencoba berlari dari angan hanya untuk bisa membatasi diri dari sebuah waktu yang seakan-akan menyesakkan. Namun, bisikkan itu senantisa datang dalam relung hatinya, yang diangapnya adalah relung hati yang tersuci.
“Kekasih, aku yang terkubur dalam emosi tidaklah pandai untuk bersembunyi. Kekasih, aku bener-benar merindukanmu. Tertatih, terpuruk dalam sunyi, mengerang dalam kerinduan. Sekiranya ini yang kau mau kekasih.. Maka, ijinkan aku berharap kekasih, untuk menjadikan kau sebagai tujuanku,” seperti berdo’a bibir lelaki itu bergerak melapalkan aduannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H