Dengan berdirinya Pura di Eropa seperti Pura Agung Santi Bhuwana Belgia, Pura Sangga Bhuana Hamburg, dan Pura Tri Hita Karana Berlin, secara automatis keberadaan Pura tersebut memerlukan keberadaan rohaniawan Hindu selaku pemimpin upacara untuk menuntun (memimpin) jalannya upacara dan persembahyangan yang berlangsung di Eropa.
Rohaniawan Hindu di Eropa yang termasuk ekajati dan digolongkan sebagai pinandita (pemangku) semuanya telah menjalani upacara yadnya berupa pawintenan sampai dengan Adiksa Widhi di pura dimana pemangku tersebut “ngemong”. Rohaniawan Hindu atau Pinanadita tersebut memang sangat diperlukan oleh umat Hindu yang ada di Eropa. Hal ini karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin kompleks.
Sesuai dengan Desa (tempat) Kala (waktu) Patra (kondisi) di eropa kewenangan para rohaniawan hindu tersebut diharapkan memang tidak hanya sebagai “Sang Pemuput Karya Odalan” atau hanya bertanggung jawab atas kesucian Pura yang dipimpinnya, tapi juga diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang maha Kuasa).
Dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan lainnya umat memerlukan tuntunan dari Rohaniawan Hindu atau Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan, dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.
Pinandita Pura Agung Santi Bhuwana Belgia
Salah satu diantara mereka yang akhirnya terpilih adalah Made Sutiawijaya MBA, seorang mantan staff KBRI Belgia. Bila di lihat dari sisi umur dan kedewasaan, terpilihnya Made Sutiawijaya ditanggapi oleh sebagian besar semeton bali yang berdomisili di belgia memang merupakan orang yang paling tepat. Keseluruhan tahapan proses pawintenan seperti layaknya di bali untuk menjadi seorang Pinandita langsung di selesaikan oleh Ida Pandita saat itu.
Salah satu dari kedua hari raya tumpek tersebut hampir dipilih oleh pinandita Sutiawijaya menjadi hari pujawali pura Agung Santi Bhuwana. Namun dengan mengacu kepada landasan pentingnya terus mengasah ilmu pengetahuan bagi setiap insan umat hindu yang merantau di Eropa sebagai bekal untuk melaju di era globalisasi ini, pawedalan Pura Agung Santi Bhuwana akhirnya oleh Pinandita Sutiawijaya di tetapkan pada hari raya Saraswati yang jatuh pada hari Sabtu Umanis wuku Watugunung.