Mohon tunggu...
Abel Kristofel
Abel Kristofel Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa teologi di sebuah sekolah tinggi di Malang, tertarik dengan ontologi, epistemologi, sejarah, fenomena sosial, seni, logika, dan kopi. Hobi membaca, berdiskusi, dan bermain catur. Mulai menulis, dalam konteks akademik, di kampus dan jurnal, serta dalam konteks bebas di Kompasiana, Facebook, dan blog http://www.teologirakyat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mempertanyakan Keindahan: Pelengkap True Morality dan Moral Truth

20 Februari 2016   09:31 Diperbarui: 20 Februari 2016   10:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya sudah sering mendengar diskusi mengenai apa itu kebenaran. Pertanyaan yang ditanyakan Pilatus dua ribu tahun lalu, contohnya, memang sangat layak untuk jadi storm in the brain (bukan sekadar topik brainstorming) dalam proses konstruksi worldview seseorang, siapapun dia. Ketegangan antara objektivitas dan keberbedaan persona beserta seluruh aspeknya—baik budaya, bahasa, presuposisi, cognitive faculty, maupun yang lainnya—membawa para filsuf untuk mencari jawaban yang paling bisa diterima oleh seluruh umat.

Entah kenapa, ontologi menjadi penting untuk dipikirkan. Bukan hal yang mengada-ada bila saya mengasumsikan bahwa para pemikir dari Pythagoras (bersama Monadnya) hingga Plantinga secara berkelanjutan mencari objektif paling tinggi (*apalah itu artinya*) yang dapat menjadi tolak ukur kebenaran dari segala ‘kebenaran’ yang diusulkan. Entah akhirnya mereka jatuh pada kesimpulan akan adanya Realitas Ultimat yang menjadi hakim atau mereka akan berkata “ya sudahlah” terhadap adanya perbedaan, saya tetap akan terus menyimak.

Epistemologi bagaimana? Sama lah.

Tak hanya itu, soal moral juga tidak lepas dari sejarah panjang pemikiran manusia. Ini lebih membingungkan lagi, sebab tiap budaya lebih mungkin untuk punya standar sendiri yang tidak bisa dihakimi oleh budaya lain. Incommensurable, itulah term yang sering saya dengar akhir-akhir ini—sebenarnya kata itu adalah terminologi dalam filsafat agama, tetapi bukan berarti etika, yang adalah salah satu aspek dalam agama, juga tidak bisa dinilai incommensurable.

“Siapa yang dapat menghakimi bahwa nilai moral dalam budaya yang satu tidak lebih benar daripada apa yang ada pada budaya yang lain?” Pertanyaan ini sangat dijagokan untuk membuat para pemikir sadar sendiri akan tidak perlunya mencari ada tidaknya standar moral tertinggi. Tetapi, jangan lupa, mereka harus memberikan alasan introspektif mengapa tidak boleh ada satu orang pun yang membogem matang wajah mereka secara sengaja dan tanpa alasan yang jelas. Bila pertanyaan retoris tadi benar, maka sakit gigi maupun hati harus ditahan bukan?

Selain dua topik membingungkan di atas, baik kebenaran (truth) maupun moral, ada lagi yang lebih membingungkan saya belakangan ini. Begini. Ada yang aneh dari banyaknya fenomena yang ada di sekitar kita; mulai dari kecantikan wanita, desain bangunan, genre musik, aliran-aliran pelukis, dan banyak lagi yang lainnya. Semua itu memunculkan pertanyaan, “what is beauty?” Ini membuat saya bingung dan makin ingin melarikan diri kepada tulisan Jonru dan Ustad Abu Janda yang seringkali membuat facebook-ers riuh sekaligus ricuh.

Apa itu keindahan? Apakah dia merupakan entitas yang lain dari sebuah materi atau sebuah state of affair? Kalaupun itu, apakah dia menempel secara partikular pada setiap apa yang kita lihat? Atau adakah objective beauty? Apakah keindahan juga bergantung pada Realitas Ultimat yang menjadi penentu—kongruen dengan yang diusulkan oleh penganut Divine Command Theory? Di manakah peran dan posisi Realitas Ultimat tersebut, bila ada, dalam segala keindahan yang ada di dunia? Bisakah saya menilai anggapan orang lain mengenai keindahan dari sesuatu adalah salah? Apakah manusia secara a priori menyusun standar subyektif untuk mencari apa yang indah bagi dirinya? Bagaimana dengan emosi, apakah dia punya peran? Faktor biologis? Hasrat?

Lebih dari itu semua, adakah irisan bahkan korelasinya dengan kebenaran dan moral? Saya merindukan bahwa pengakuan terhadap keberadaan ketiganya membawa para pemikir untuk mengakui adanya Realitas Ultimat. Tetapi, ini tidak semudah mempercayai bahwa orang tua saya adalah orang tua saya, seperti yang dikatakan Bertrand Russell, “. . .not enough evidences God, not enough. . .” Ini lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama daripada ketika saya melotot pada coretan tinta Van Gogh atau Salvador Dali.

Tulisan yang tidak konklusif ini memang tidak serta-merta mengindikasikan bahwa saya tidak tahu apa-apa. Tapi percayalah, ini sulit. Truth, moral, and beauty: the trinity entity.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun