Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1P/HUM/2024 terkait perkara uji materiil yang diajukan oleh pejabat pengawas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta unsur masyarakat, memerintahkan pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.Â
Adapun hal yang menjadi polemik Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tersebut, yaitu isi dari ketentuan umum yang menyatakan bahwa metode pemanenan tebu dilakukan menggunakan metode pembakaran terencana dan terkendali yang sengaja dilakukan dibawah kendali manusia dengan memperhatikan faktor cuaca serta arah angin.
Peraturan yang melegalkan panen tebu dengan cara membakar memang berpotensi menguntungkan pihak perusahaan perkebunan tebu, akan tetapi tindakan ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar terkait dengan pelepasan emisi gas rumah kaca. Selain itu, praktik pembakaran lahan tebu juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan serta dapat mengganggu kesehatan masyarakat akibat asap dan partikel debu yang dihasilkan melalui proses pembakaran tersebut.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Peraturan Gubernur tersebut telah bertentangan dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi berupa Undang-Undang dan Peraturan Menteri. Adapun peraturan yang dimaksud, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Kemudian, Regulasi daerah itu juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53/Permentan/KB.110/10/2015 tentang Pedoman Budidaya Tebu Giling yang Baik dan Permentan No 05/Permentan/KB.410/1/2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar.
Menurut asas lex superior derogat legi inferiori, terdapat penjelasan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa merupakan suatu kewajaran apabila Mahkamah Agung menetapkan peraturan gubernur mengenai legalitas praktik pembakaran lahan tebu harus dicabut karena telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam perkara ini, menurut hasil pemantauan yang dilakukan oleh pihak KLHK dua tahun silam ditemukan titik panas pada beberapa perkebunan tebu di Lampung. Selanjutnya, setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut diketahui bahwa lahan milik PT Sweet Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa terindikasi kebakaran lahan. Hasil pengawasan tahun 2021 mencatat dua korporasi tersebut telah membakar 5.469,38 hektare lahan, sedangkan lahan yang dibakar pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 14.492,64 hektare.Â
Berdasarkan pertimbangan dari berbagai fakta yang ditemukan, metode panen tebu melalui proses pembakaran dinilai banyak menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keputusan Mahkamah Agung untuk mencabut Peraturan Gubernur Lampung yang memberikan legalitas terhadap praktik pembakaran lahan tebu merupakan keputusan yang sangat tepat. Hal ini karena, kebijakan tersebut terindikasi hanya fokus kepada keuntungan perusahaan perkebunan tebu secara finansial tanpa memikirkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup masyarakat dan kerugian negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI