Mohon tunggu...
Abe Bakar
Abe Bakar Mohon Tunggu... wiraswasta -

seseorang yang terus mencoba mengenali diri dan Tuhannya, sampai ruh meninggalkan jasad.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Waspadai Kekerasan Atas Nama Agama

13 Mei 2011   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, perkembangan kehidupan umat beragama di Indonesia, menampakan gejala menguatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan belakangan ini seolah-olah menjadi representasi dari pemahaman kebenaran tunggal individu ataupun beberapa golongan. Namun demikian, pemahaman kebenaran tunggal tersebut seakan dipandang sebagai pemenuhan ajaran Tuhan, kesalehan dianggap bisa dicapai dengan tindakan-tindakan kekerasan yang berimplikasi meniadakan perbedaan pandangan dan bahkan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sikap dan tindakan kelompok “anti kemanusiaan” ini cenderung melibatkan Tuhan dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik. Klaim-klaim teologis yang ditumbuh-kembangkan oleh kelompok ini sebenarnya mendangkalkan agama menjadi hanya bersifat keyakinan yang ekslusif dan alienatif, dan semakin membenarkan doktrin “aku ada, yang lain tidak ada”. Jelas kiranya pemikiran dan gerakan kelompok yang sering melakukan kekerasan ini berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, meniadakan relevansi nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin, yang sudah lama terbentuk dari perjalanan dan proses sejarah.
Dalam sejarah, kekerasan dan pemberangusan kelompok-kelompok yang dianggap berbeda dari kelompok mainstream (kelompok kebanyakan) dan penguasa ini bukan hal baru. Ini kerap kali terjadi dan berulang dalam sejarah. Perdebatan panjang mengenai pemahaman keagamaan yang berbeda-beda ditambah dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu kadang berujung pada tragedi kekerasan, dimana agama diteriakkan, tetapi justru kemanusiaan tercampakkan. Untuk menyebut salah satu contoh adalah peristiwa ‘mihnah’, saat aliran Mu’tazilah menjadi mazhab resmi negara. Saat itu rakyat, ulama dan seluruh umat Islam ditanya apakah Al-Qur’an itu sesuatu yang ada sejak dahulu (qadim) atau ciptaan Tuhan yang bersifat baharu (hadits). Saat itu aliran Mu’tazilah berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu yang berupa Kalam Allah itu merupakan hal baharu yang diciptakan, ia tidak qadim. Sementara kelompok Sunni berkeyakinan bahwa Kalam Allah bersifat qadim. Tetapi ketika rakyat yang ditanya tersebut menjawab tidak sependapat dengan teologi Mu’tazilah, maka dibunuhlah ia. Atas nama Tuhan, Mu’tazilah saat itu memaksakan kehendak dan pemahaman keagamaannya dengan menghalalkan segala cara, kekerasan dan pembunuhan keji sekalipun
Kecenderungan menghalalakan tindak kekerasan dalam beragama, belakangan mulai marak di negeri ini. Apakah kita akan mengulangi sejarah konflik berdarah-darah yang sesungguhnya tidak perlu itu.
Sejatinya, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali oleh agama manapun, khususnya Islam. Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Sayangnya pemahaman ini berlaku bagi kelompok-kelompok Islam di tanah air yang sudah mapan, seperti NU, Muhammadiyah, dan beberapa lainnya. Sementara itu muncul keompok-kelompok kecil tetapi sangat militan, getol sekali menghembuskan misinya baik untuk melakukan politisasi agama dan melakukan berbagai tindak kekerasan atas nama agama.
Dalam hal ini, kita harus mewaspdai perkembangan gerakan kelompok-kelompok kekerasan ini. Jauh-jauh hari pergumulan sejarah telah sepakat bahwa negara kita berpegang pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita harus memerangi segala bentuk kekerasan atas nama agama, karena negara kita adalah negara hukum, negara yang mendeklarasikan Pancasila sebagai dasar negara, dan menyepakati bahwa bentuk negara kita adalah NKRI. Dan keberadaan NKRI dan Pancasila itu sendiri tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan seiring adanya. Kenyataan ini harus ditekankan berulang kali. Sikap-sikap ini sebagai bagian dari langkah nyata kita sebagai warga negara dan umat muslim yang baik yang selalu mencari kemashlahatan di mana pun dan kapan pun, bukannya mengumbar kebencian di mana-mana.

Islam dan Nilai Kemanusiaan
Sebenarnya Islam sendiri mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an terkandung landasan-landasan normatif antar umat manusia, didalamnya jelas disebutkan bahwa keragaman dalam suku, ras, bahasa, bangsa bahkan agama merupakan Sunnah Tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Keragaman itu juga tidak dapat dijadikan alasan untuk bermusuhan dan melakukan kekerasan, jutru didalamnya menganjurkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan. Hal ini seakan-akan menegaskan bahwa fakta keragaman dan perbedaan dalam masyarakat yang plural bukan menjadi pembenaran untuk saling melenyapkan, meniadakan serta menghinakan satu sama lain. Dengan perbedaan semestinya manusia memperoleh manfaat yang lebih besar. Dalam Islam terdapat spirit mengenai Islam sebagai agama perdamaian, yaitu misalnya dengan mengucapkan salam terhadap sesama muslim, dalam QS al-Nisa: 86 dijelaskan: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang sama.”

Kekerasan Atas Nama Agama Membahayakan NKRI
Dalam hal penghormatan terhadap pihak yang berbeda, dikisahkan bahwa Nabi besar Muhammad saw adalah sosok yang sangat menghormati perbedaan, baik agama maupun etnis. Ketika ada rombongan yang mengahantar jenazah orang Yahudi melewati Nabi saw, beliau langsung beridiri sebagai tanda hormat. Nabi saw ini bersabda: “Inni bu’itstu bi hanfiyatil samhah” (Saya diutus dengan membawa agama yang cenderung toleran). KH. Ahmad Siddiq –tokoh Nahdlatul Ulama- menyatakan bahwa sebagai umat Islam yang baik selain mengenal persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), mengenal persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah), juga mengenal persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Dari sini umat beragama, Islam khususnya, adalah umat yang mengenal bukan hanya wacana keagamaan, tetapi juga kebangsaan dan kemanusiaan.
Dimensi kemanusiaan ini merupakan aspek penting dalam tatanan kerukunan kehidupan beragama di Indonesia. Kerukunan beragama itu sendiri adalah soko guru bagi keberadaan kesantuan dan persatuan negeri ini. Tanpa keurukunan umat beragama, niscaya keutuhan NKRI terganggu. Artinya kekerasan atas dasar agama sesungguhnya harus dipandang sebagai upaya yang membahayakan negara ini. Karena itu segala tindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama, meski disikapi secara cepat oleh pihak yang berwajib. Wallahua’lam bi al-Showab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun