Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ilusi Kebersamaan dalam Bingkai Manipulasi

23 Desember 2024   17:29 Diperbarui: 23 Desember 2024   17:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Editor Aplikasi Canva: AbieLabieba

ILUSI KEBERSAMAAN DALAM BINGKAI MANIPULASI
Oleh : Habiburrahman

Di sebuah negeri yang penuh mimpi dan ambisi, berdiri megah lembaga bernama "Pusat Kebersamaan dan Kemajuan." Dengan slogan "Membangun Masa Depan Bersama," lembaga ini menjadi simbol solidaritas yang diidamkan, setidaknya di permukaan. Namun, di balik dinding-dinding kaca transparannya, roda manipulasi berputar halus, seolah-olah membersihkan kotoran, sementara justru mengendapkannya lebih dalam.

Pemimpin lembaga itu, Suto Ambisi, adalah seorang maestro di bidang ilusi. Dalam balutan jas mahal dan pidato penuh metafora, ia membangun citra sebagai pembawa obor keadilan. Tetapi di ruang-ruang rapat eksklusif, ia dikenal sebagai arsitek licin yang mengubah aliran dana publik menjadi sungai manfaat bagi segelintir elite. "Efisiensi adalah kunci kemajuan," katanya, sambil menandatangani laporan anggaran yang didandani sebagai dokumen kebajikan.

Program-program mereka, seperti "Festival Inovasi Rakyat" dan "Pelatihan Etika Global," menjadi layar asap sempurna. Setiap presentasi menampilkan grafik yang melambung, video testimoni yang menyentuh hati, dan laporan keuangan yang tampak tanpa cela. Tapi sebenarnya, setiap baris angka adalah cerita lain tentang aliran dana yang terselip menuju kantong-kantong tersembunyi. Dana untuk memberdayakan orang-orang seperti Pak Dasar, seorang karyawan biasa yang bekerja dari pagi hingga malam dengan harapan sederhana, sering kali lenyap dalam daftar anggaran tak kasatmata.

Pak Dasar menyimak keadaan ini dengan perasaan campur aduk. Dalam obrolannya dengan teman-teman sekerja, ia terkadang terdengar sarkastis. "Mungkin, kalau aku lebih pintar menjilat atau lebih pandai membaca gelagat, aku juga bisa dapat kursi seperti Suto," gumamnya. Meski sesekali terselip antusiasme untuk mencoba peruntungan, ia lebih sering tersenyum getir, seolah menyadari betapa mustahilnya. Di dalam dirinya, ada waspada yang terus ia pelihara: jangan sampai rasa iri itu berubah menjadi dorongan untuk bermain di permainan yang sama.

Suto tak terusik oleh bisikan-bisikan kecil seperti itu. Ia terus membangun narasi megah tentang keberhasilan lembaga. Ketika kritik datang, ia menjawab dengan santai dan penuh percaya diri, "Kami selalu transparan. Semua laporan dapat diakses melalui bendahara, dan lembaga kami bahkan meraih penghargaan sebagai lembaga paling inovatif tahun ini." Penghargaan yang, tentu saja, telah diatur dengan kecerdikan yang tak terbantahkan.

Seiring waktu, strategi lembaga semakin halus. Nama-nama program baru terus diluncurkan: "Ekspedisi Moralitas Bangsa" dan "Inisiatif Kepedulian Global." Setiap inisiatif dirancang untuk menarik perhatian media dan masyarakat. Di balik layar, mesin manipulasi bekerja lebih rapi. Tidak ada celah yang terlalu besar, tidak ada detail yang terabaikan. Segala sesuatu begitu tertata sehingga kesalahan terlihat seperti ketidaksepahaman belaka.

Di ruang kerjanya yang berpendingin ruangan, Suto sering merenungi karyanya dengan rasa bangga yang sulit disembunyikan. "Manipulasi," ujarnya kepada dirinya sendiri, "adalah seni tertinggi dalam kepemimpinan." Ia tahu, selama jejak-jejak permainan ini dikaburkan dengan lihai, masyarakat akan terus terpukau pada gemilangnya narasi.

Sementara itu, Pak Dasar terus menjalani hari-harinya dengan biasa. Ia tahu ia hanya satu dari sekian banyak roda kecil dalam sistem besar ini. Namun, ia menolak membiarkan dirinya larut. "Mereka pintar," bisiknya pelan, "Tapi semoga kita tak terlalu mudah diperdaya." Dengan langkah pelan, ia melanjutkan pekerjaannya, menyisakan secercah harapan bahwa kesadaran publik mungkin suatu hari bangkit melampaui tipuan retorika.

Demikianlah, di negeri yang katanya adil ini, ilusi kebersamaan terus tumbuh subur, tak tersentuh, dan selalu mempesona. Dalam sistem yang tampak bersih, permainan berlanjut tanpa suara bising, seperti bayangan yang menari di bawah sinar bulan, melambangkan betapa lihainya manusia dalam membingkai kebenaran semu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun