SENIOR ADALAH RAJA, ORANG TUA DAN GUR? AH.., BISA TUNGGU!
"Sepenggal kisah analogi dahaga miras!".
Oleh : Habiburrahman
Di sebuah sekolah dengan siswa terbanyak di negeri puyeng geliyeng, ada fenomena menarik yang kerap terjadi. Sebuah kisah klasik tentang kepatuhan, tapi dengan twist yang tak terduga. Bayangkan, seorang siswa kelas XXZ yang selalu terlihat angkuh dan masa bodoh di depan gurunya, tiba-tiba menjadi sangat rendah hati ketika seorang senior masuk ke ruangan. Begitu senior itu muncul, si siswa dengan sigap berdiri, membungkuk sopan, dan bahkan rela mengambilkan minum. Sungguh, jika saja perlakuan yang sama diberikan pada gurunya, mungkin dunia pendidikan kita akan melompat jauh ke depan.
Fenomena ini bukanlah hal baru, apalagi aneh. Di dalam organisasi sekolah, terutama yang dikelola oleh para siswa sendiri, senioritas menjadi hukum tak tertulis yang begitu kuat. Senior berkata "ayo kumpul," maka siswa lain bergegas seperti kerbau dicocok hidungnya. "Besok bawa ini dan itu," perintah senior, dan siswa dengan patuh menjalankan tanpa banyak tanya. Mereka begitu patuh pada senior, seolah-olah senior adalah dewa yang harus disembah. Di rumah, ketika orang tua meminta mereka menyapu atau sekadar membuang sampah, tiba-tiba tangan mereka menjadi berat dan telinga mereka mendadak tuli. Begitu juga di sekolah, guru-guru yang saban hari mengajar dan mendidik dianggap tak lebih penting dari senior yang sekadar mengawasi.
Lihatlah betapa ironisnya situasi ini. Di kelas, seorang siswa tak segan-segan membantah guru yang berusaha menjelaskan materi. Bahkan ketika guru meminta mereka diam dan mendengarkan, seringkali yang terjadi justru mereka tetap asyik sendiri. Namun, ketika berada di depan senior mereka di organisasi, tak ada suara bantahan. Bahkan kalimat sederhana seperti "Tolong ambilkan buku," dari seorang senior bisa dilakukan dengan secepat kilat. Siswa ini tampaknya begitu terlatih menjadi "taat," asalkan yang meminta adalah senior, bukan guru apalagi orang tua.
Lebih menyedihkan lagi, di rumah, orang tua yang bersusah payah membesarkan mereka sering kali menerima perlakuan yang jauh lebih buruk. Saat ibu atau ayah memanggil untuk meminta bantuan, mereka sering pura-pura tidak mendengar, atau jika pun mendengar, responnya penuh keluhan. "Nanti saja, Ma," atau "Sibuk nih, Pa," jadi jawaban favorit. Namun, coba bayangkan kalau seorang senior mengirim pesan di grup organisasi, "Kumpul sekarang!" Tidak ada yang berani bilang "Nanti, Kak." Semua langsung tunduk, bagai mendapat komando dari pemimpin perang.
Kondisi ini sungguh menimbulkan penyakit moral yang mendalam. Siswa-siswa ini seolah lupa, atau mungkin tidak diajarkan, bahwa senioritas di organisasi hanyalah bagian kecil dari kehidupan mereka. Mereka lupa bahwa orang tua dan guru lah yang seharusnya mendapatkan penghormatan tertinggi, bukan sekadar senior yang hanya lebih dulu masuk sekolah. Akibatnya, mereka tumbuh dengan pola pikir yang salah, mengutamakan loyalitas buta pada senior daripada menghargai orang tua dan guru yang sesungguhnya lebih berjasa.
Dan akhirnya, kita pun bertanya-tanya: kapan mereka akan menyadari bahwa adab yang salah arah ini hanya akan menuntun mereka pada kesesatan moral yang lebih besar? Mungkin suatu hari, ketika mereka sendiri menjadi guru atau orang tua, barulah mereka merasakan betapa sakitnya diabaikan oleh generasi yang lebih muda, sebagaimana dulu mereka mengabaikan guru dan orang tua mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H