Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Penulis, Dosen dan Peneliti -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan dalam Ironi

9 Januari 2018   10:31 Diperbarui: 9 Januari 2018   10:45 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BrightWallpapers.ru

Dalam konteks pendidikan Indonesia, terdapat hal yang menarik, seperti ilustrasi berikut ini:

Thomas adalah siswa SD dari salah satu sekolah yang berada di daratan Nusa Tenggara Timur. Diketahui bahwa Thomas adalah siswa berprestasi di sekolahnya. Tentu saja hal ini dibuktikan dengan prestasi juara kelas yang selalu saja di dapatkannya sejak ia berada di jenjang kelas 1 hingga kelas 5 SD. 

Katakanlah Thomas selalu mendapatkan nilai yang sangat memuaskan di kelas, yaitu dengan nilai rata-rata yang mencapai 80, 90, hingga 100. Namun, ketika Ujian Akhir Nasional (UAN) tiba, Thomas dinyatakan "tidak lulus" karena jumlah keseluruhan nilai yang didapatkannya tidak mencapai standar kelulusan UAN yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu jumlah Nilai Raport 70% dan Ujian Sekolah 30%.

Di tempat lainnya, Budiyono adalah siswa SD dari salah satu sekolah yang berada di daratan pulau Jawa.  Diketahui bahwa Budiyono adalah juga siswa yang tidak memiliki prestasi di sekolahnya. Tentu saja hal ini dibuktikan dengan nilai-nilai yang di dapatkan oleh Budiyono sejak ia berada di jenjang kelas 1 hingga kelas 5 SD, bahkan karena saking buruknya nilai Budiyono, ia sempat tinggal kelas di kelas 3.  Katakanlah Budiyono selalu mendapatkan nilai yang sangat tidak memuaskan di kelas, yaitu dengan nilai rata-rata adalah 30, 40, hingga 50. Namun, ketika Ujian Akhir Nasional (UAN) tiba, Budiyono justru dinyatakan "lulus" dengan keseluruhan jumlah nilai yang didapatkannya sangat memuaskan, bahkan pencapaiannya jauh dari standar kelulusan UAN yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu dengan rata-rata Nilai Raport 70% dan Ujian Sekolah 30%.

Inilah paradoks UAN di negara ini! Paradogsal yang semakin sulit membawa kita pada tempat perhentian akhir, karena tak pernah ditemukan ujungnya. Fenomena ini justru semakin terus menarik, ketika kemudian menjelma menjadi "bumerang" (baca: senjata makan tuan) dari tahun ke tahun, dari kebijakan ke kebijakan, bahkan dari pergantian penguasa ke penguasa lainnya. Mari sejenak kita renungkan, betapa kontrasnya fenomena dari ilustrasi di atas. 

Secara jujur dan apa adanya, inilah cermin realitas! Suatu kenyataan yang memang ada dan selalu hadir terus menerus untuk menghantui dunia pendidikan di negara ini. Apa yang salah dengan kenyataan seperti ilustrasi di atas? Pihak manakah yang lebih bertanggungjawab di sini? Lantas, apa solusinya? Memang, tidak mudah meletakkan jawaban pada ketiga pertanyaan kolosal di atas. 

Mengingat kenyataannya, selalu saja terjadi kontradiksi berkepanjangan dari setiap kebijakan dan aturan serta kewenangan, yang justru hampir setiap saatnya dilakukan pembaharuan demi pembaharuan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di negara ini. Namun sayang beribu sayang, semua hanyalah fiktif, bahkan menjadi sesuatu yang "fatamorgana"saja.

Ironi Pendidikan Yang Tak Berujung

Mungkin benar, jika dikatakan bahwa dalam dunia pendidikan di negara ini, pemerintah selalu membuat kebijakan-kebijakan yang berdampak positif dalam tatanan sistem pendidikan kita. Benar juga, jika dikatakan pula bahwa pemerintah selalu menemukan hal-hal baru yang konon katanya untuk memperbaiki seluruh sistem pendidikan kita dari Sabang sampai Merauke.

Namun rasanya tidak benar, jika dikatakan bahwa dunia pendidikan di republik ini menjadi maju dan semakin baik. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab pada kenyataannya, justru yang terjadi menunjukkan dengan pasti bahwa dunia pendidikan kita semakin jauh dari ruh konstruktifnya, bahkan selalu terkungkung dalam singgasana kehancurannya yang tidak seorang pun tahu kapan akan berakhir.

Bayangkan saja, ada begitu banyaknya jumlah lulusan dari sekolah-sekolah saat sekarang ini yang tersebar di seluruh pelosok nusantara tercinta, yang hanya bisa menjadi "pencari kerja" dari pada pencipta lapangan kerja sendiri. Banyak pula para alumnus dunia pendidikan kita yang bekerja justru tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang telah di pelajarinya. Sehingga mereka pun tidak tahu akan dunia kerja yang dimasukinya. Jangankan kemampuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun