Perkembangan ekonomi Islam di masa modern muncul sebagai tanggapan terhadap ketidakpuasan terhadap teori-teori ekonomi klasik dari Barat. Salah satu tokoh penting dalam ekonomi Islam modern adalah Imam Baqir as-Sadr, yang melalui karyanya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) menyatakan bahwa kapitalisme dan sosialisme tidak mampu menangani persoalan ekonomi global, terutama dalam hal ketidakadilan distribusi kekayaan.
Menurut as-Sadr, kapitalisme memiliki masalah utama, yaitu penekanan berlebihan pada kekayaan material dan sumber daya alam yang terbatas, yang memicu eksploitasi serta ketidakadilan sosial. Di sisi lain, sosialisme, dengan pendekatan ekonomi terpusatnya, sering kali menciptakan birokrasi yang kaku dan membatasi kebebasan individu, sehingga memicu konflik antara pemerintah dan masyarakat. Pendekatan ini juga sering gagal memahami kebutuhan lokal dan individual, sehingga menyebabkan ketidakpuasan di kalangan publik.
Ekonomi Islam menawarkan prinsip keadilan, pemerataan, dan solidaritas sosial sebagai dasar utama untuk mengatasi masalah distribusi yang tidak merata.
Istilah "ekuilibrium" atau "keadaan seimbang" berasal dari kata Arab "qashd," yang memiliki akar dari kata "iqtishad." Akibatnya, teori-teori ekonomi tradisional dianggap tidak relevan dan ditolak. Sebaliknya, tujuan dari aliran ini adalah mengembangkan teori-teori baru yang didasarkan langsung pada Al-Qur'an dan Sunnah. Pemikiran ini dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui karyanya yang terkenal, Iqtishaduna (Ekonomi Kita). Meskipun ekonomi dan Islam memiliki batasan masing-masing, ada perbedaan dalam cara pandang terhadap isu-isu ekonomi seperti kelangkaan. Baqir menolak pandangan tentang keinginan manusia yang tak terbatas karena adanya konsep utilitas marjinal dan hukum hasil yang semakin berkurang (Mubarok, 2021). Masalah utama adalah distribusi yang tidak merata dan ketidakadilan. Oleh karena itu, Al-Qur'an harus menjadi dasar pemikiran ekonomi. Karena kedua pandangan ini berasal dari mazhab ekonomi yang bertentangan, yaitu mazhab iqtishoduna, keduanya tidak dapat disatukan. Sangat penting untuk mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan syariah, karena terdapat perbedaan mendasar dalam terminologi antara ekonomi konvensional dan pemikiran ekonomi berbasis syariah Islam.
Baqir al-Sadr dalam pemikirannya di Iqtishaduna menyatakan bahwa ekonomi perlu dipelajari dari dua sudut pandang: ilmu ekonomi, yang juga dikenal sebagai ekonomi positif, dan filsafat ekonomi, yang disebut sebagai ekonomi normatif. Sebagai contoh, teori permintaan dan penawaran dalam ekonomi positif menjelaskan hubungan antara tingkat harga dan jumlah barang yang diminta atau ditawarkan. Filosofi dan keyakinan esensial para filsuf ekonomi membentuk dasar ekonomi normatif. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap masyarakat memiliki ideologi, pandangan, dan kebiasaan yang berbeda. Inti dari pemikiran ini adalah bahwa masalah ekonomi yang muncul akibat distribusi yang tidak merata dan tidak adil, sering kali dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis yang menguntungkan pihak yang berkuasa dan kaya.
Baqir al-Sadr juga menolak pandangan umum dalam ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa sumber daya alam terbatas, sementara kebutuhan manusia tidak terbatas. Menurutnya, Islam tidak mengakui konsep ini karena segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah sudah ditentukan kadarnya. Menurut Baqir, akar dari kesengsaraan ekonomi saat ini adalah keserakahan manusia, bukan kelangkaan sumber daya alam. Sumber daya akan selalu cukup jika manusia dapat menggunakannya dengan bijak. Mazhab Baqir juga mengadopsi beberapa sistem, seperti penyaringan saham-saham Islam menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif agar keuntungannya dapat didistribusikan kepada pemegang saham. Namun, ada kritik yang menyatakan bahwa mazhab ini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengeksplorasi teori-teori ekonomi Islam yang sebenarnya sudah ada.
Tokoh-tokoh dan pemikiran mazdhab istishqoduna
Muhammad Baqr As-SadrÂ
Baqir ash-Shadr adalah seorang pemikir modern. Nama lengkapnya adalah Ayatullah Sayyed Muhammad Baqir ash-Shadr bin Haidar ash-Shadr bin Isma'il ash-Sadr bin Sadr al-Din al-Amili (Ash-Shadr, 1994). Ia lahir pada 1 Maret 1935 Masehi, bertepatan dengan 25 Dzulqaidah 1353 Hijriah, di Kadhimiyeh, Irak (Ash-Shadr, 2001). Nama "Shadr" berasal dari nama kakek buyutnya, Shadr al-Din al-Amili (1847 M), seorang ulama Syiah Imamiyah. Baqir ash-Shadr merupakan keturunan dari Imam Musa al-Kazhim. Tidak mengherankan jika Baqir mengikuti jejak intelektual keluarganya, mewarisi tradisi keilmuan dan keimanan Syiah yang kuat. Ia menjadi yatim pada usia 4 tahun.
Pemikiran Ekonomi Baqir As Shadr
Beberapa topik yang tercakup dalam teori ekonomi Islam menurut Baqir Sadr, adalah sebagai berikut: