Seorang perempuan batam jual diri, Â Diketahui ia masih berusia 15Â tahun atau di bawah umur dan duduk di bangku sekolah. Namun sang mas menteri, Nadiem duduk nyaman di kursi menteri pendidikan dengan bangga membuat kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Pasalnya seorang siswi yang tak mampu membeli kuota dalam kebijakan tersebut. Sungguh ironi diluar nalar untuk tujuan pendidikan berkarakter.
Jual diri demi kuota adalah kondisi yang tidak adil ketika kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh(PJJ) diperlakukan sama bagi siswi terdampak orang tua tidak sejahtera karena pandemi covid 19. Siswi  terhalang hambatan struktural dan prasangka atau preferensi "tekanan" secara eksplisit dapat dijustifikasi ketika perbedaan tertentu untuk menukar harga diri dengan harga kuota.
Tekanan ialah merupakan istilah fisika yang digunakan untuk menyatakan besarnya gaya per satuan luas. Gaya yang dimaksud disini adalah gaya kepemimpinan yang tegak lurus dengan para pelajar. Banyak pelajar tertekan untuk menyatakan kebijakan menteri pendidikan yang sudah meluas antara kota besar dan di pelosok Indonesia.
Dampak langsung dan sudah meluas  pembelajaran jarak jauh mengubah perilaku, nilai, dan sikap, agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan digitalisasi pendidikan. Kebijakan bisa menyebabkan orang mengubah keyakinannya mengenai suatu hal negatif menjadi baik karena desakan keadaan sehingga terjadi tekanan emosional.
Sang Nadiem tidak bisa memprediksi apakah faktor personal ataukah "tekanan emosional" dalam kebijakannya, yang berdampak pada niat untuk memilih menjual diri dikalangan remaja. Maklum Nadiem lahir  lahir di Singapura, 4 Juli 1984 dari keluarga menikmati kesejahteraan secara all out. Tentu berbeda pelajar Indonesia yang berlatarbelakang berbeda dengan dirirnya.
Pada banyak kesempatan, siswi tersebut mencurahkan isi hatinya kepada relasi terdekat tanpa media sosial. Sejumlah orang merasa baik-baik saja dengan kebijakan jarak jauh (PJJ), tapi tak sedikit pula yang mencibir kebijakan berlandas merdeka belajar ini karena tidak mendapat bantuan baik internet lancar dan bantuan kuota internet.
Jangan terlalu diambil hati lah, demikian kalimat yang biasanya orangtua mereka sampaikan. Begitulah setiap perjuangan siswi untuk menyelesaikan pendidikan di Indonesia. Sungguh menyentuh hati.
Segelintir siswi pandai mengeksplorasi perasaan sedih di sosial media namun kasus jual diri untuk kuota adalah bentuk eksplorasi perasaan sedih dunia pendidikan Indonesia saat ini. Rupanya kebijakan PJJ harus dimanfaatkan dengan kebijakan tambahan dengan alokasi subsidi kuota dan kolaborasi dengan keminfo untuk internet lebih lancar.
Ditengah pergaulan terisolasi saat ini nyatanya banyak pejabat lebih senang menjauh dari kritikan dan lebih senang dekat dengan konflik kepentingan. Konfigurasi ini buruk bagi demokrasi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, profesional dalam menjalankan tugasnya penting apapun jabatannya.
Alangkah bagus bila orang dengan tingkat sensitivitas yang sangat tinggi atau highly sensitive person (HSP) diangkat menteri yang kebijakan dapat diterima secara sosial untuk timbul kesetaraan pendidikan. Setidaknya, kesetaraan pendidikan mencakup hak yang sama dalam akses pendidikan, merasakan keamanan pendidikan, memperolehkan hak suara dalam menyampaikan keluhan pendidikan, mempunyai kebebasan untuk berbicara dengan kebijakan tidak tepat, dan sejauh mana hak tersebut tidak merupakan hak-hak yang bersifat atau bersangkutan secara personal. hak-hak ini sebagai pengamanan pendidikan yang sama dalam kewajiban yang melibatkan seluruh jajaran kementerian Pendidikan.
Banyak pelajar menilai sang Menteri Pendidikan tidak memiliki empati yang tinggi. Nadiem memang berpikir progresif tanpa memahami lingkungan Indonesia mendalam. Tidak ada kemampuan merasakan para kaum dibawah standar kesejahteraan di Indonesia. Penting diingat bahwa seorang pemangku jabatan harus memiliki empati yang tinggi setelah intelektual yang tinggi.
Dengan demikian sejak dimulainya Tahun Ajaran Baru tanggal 13 Juli lalu, terjadi muncul kasus dalam  kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kasus ini membuat kita menyadari betapa kesenjangan akses pendidikan sangat terasa antara kota besar dan di pelosok Indonesia. Antara keluarga yang berkecukupan dengan yang berkekurangan dan bukti kinerja kementerian pendidikan tidak lebih baik selam tahun ajaran baru. Sang Menteri pun memiliki tingkat sensitivitas rendah sehingga kebijakan tidak diterima kalangan pelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H