Rasisme adalah sejarah kelam Indonesia  yang merasa ras diri sendiri merupakan ras jawa yang paling tinggi daripada ras lainnya sehingga semua otoritas publik harus dari ras jawa termasuk politik praktis yakni blusukan.
Pemahaman masyarakat menerima ras jawa yakni menjadi bagian masyarkat Jakarta mudah sedangkan khusus Menteri Risma terdapat penolakan suatu golongan masyarakat yang bukan berdasarkan atau berbeda ras.
Tidak ada komponen masyarakat Indonesia yang mengacu pada ciri-ciri biologis dan fisik untuk mengkritisi. Satu di antara yang paling jelas adalah warna kulit dan latar belakangnya menteri risma.
Jika terlanjur memiliki stereotip politisi Jawa suka blusukan, ubahlah sedikit demi sedikit. Atau, cobalah merespons orang lain dengan cara yang lebih baik.Â
Misalkan Megawati menjadikan kawan politik yakni Walikotas Solo sebagai tumbal untuk menutupi kebobrokan yang lebih besar dari dalam partai ataupun lembaga pemerintah menteri sosial sebelumnya, Juliari Peter Batubara dalam pusaran korupsi.
Ini adalah  politik praktis yang hebat, Dari fee Rp 10 ribu per paket sembako itu, total akumulasi dana korupsi yang dinikmati Juliari diduga mencapai Rp 17 miliar dari jabatan menteri sosial.
Hebohnya pemberitaan tentang Menteri risma dengan drama publik yang terbongkar untuk mendulang popularitas di tengah krisis kesehatan jangan sampai membuat kita lupa dengan sejumlah kasus korupsi yang sedang marak terjadi.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi, terkait bansos Covid-19, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, menyerahkan diri ke KPK ia tidak menghadapi pengadilan seakan-akan berita hilang.
Argumentasi  secara serampangan peringatan bagi koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi merasa gentar. Padahal secara yuridis memang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Politik Praktis (Blusukan) Menimbulkan Anti Rasisme Atau Anti Risma?