ASEAN menghadapi ancaman invasi AUKUS (Australia, United Kingdom dan United States of America ) dan China sehingga ASEAN harus inisiasi politik persatuan.
Keresahan masyarakat Asia Tenggara muncul sejak mengetahui pola yang sama dimana pada raja-raja berkuasa di Asia Tenggara harus melakukan proteksi terhadap bangsa Eropa dan bangsa Mongol sehingga kehadiran AUKUS dan China menjadi ancaman baru.
Ancaman baru invasi ketika Joe Biden, Boris Johnson, dan Scott Morisson mendirikan AUKUS Â membuat rencana induk kapal nuklir mencegah Xi Jin Ping mengklaim laut China Selatan dengan membangun pangkalan militer dihadapkan pada perang laut.
Pola yang sama ini berulang kali menghadapi tantangan ASEAN, mulai dari politik perpecahan sesama Bangsa Asia Tenggara. Bangsa Asia Tenggara risiko dikuasai dan dieksploitasi dari kubu AUKUS dan kubu China hingga inisasi politik persatuan menjadi penting.
Politik perpecahan atau devide et etimpera  dikenalkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia untuk memonopoli perdagangan di Indonesia sedangkan ancaman invasi AUKUS dan China diduga memiliki motif eksploitasi sumber daya alam Asia Tenggara dengan polarisasi pro-AUKUS dan pro-China.
Penaklukan ASEAN dengan ancaman invasi dimulai dari konflik AUKUS dengan China membuka pilihan dengan polarisasi apakah ASEAN akan menjadi asosiasi pro-AUKUS dan pro-China atau menjadi Republik baru pro-persatuan untuk menjaga keutuhan wilayahnya ?
Politik persatuan belum berhasil menyatukan Negara Brunei Darussalam, Negara Indonesia, negara Kamboja, Negara Laos, Negara Malaysia, Negara Myanmar, Negara Filipina, Negara Singapura, Negara Thailand, dan Negara Vietnam menjadi Republik Asean untuk mencegah kapal nuklir AUKUS dan pangkalan militer China.
Sumber kekuasaan Republik Asean adalah paksaan atau coercive power karena ketakutan penjajahan terjadi kembali lagi sebagaimana invasi Bangsa Eropa dan invasi Bangsa Mongol di Asia Tenggara.
Menurut Foucault kehadiran kekuasaan pada hubungan sosial dan kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi.Â