Genosida Kesunyian
AR. Zanky
Bab VIII
Suatu hari, pagi-pagi sekali mereka menyelinap keluar. Mereka melewati rumah berpagar itu. Bana menceritakan pemandangan yang ia saksikan sebelum ia jatuh pingsan.Tentang keanehan dan misteri orang-orang yang tinggal di sana.
"Dulunya itu rumah kepala kampung, rumah kakeknya maksudku. Aku tak begitu ingat. Kau belum ada. Ayah dan ibu masih bersama. Lalu timbul masalah. Antara ayah dan dia, antara ibu dan dia, antara mereka bertiga. Aku tak begitu paham pada awalnya. Sampai ayah tiba-tiba menghilang. Sampai setahun kemudian kau lahir. Sampai ibu sakit-sakitan. Sejak itu dia tak pernah lagi kelihatan. Ada yang bilang dia meninggal. Ada yang mengatakan dia sakit parah. Mereka tak pernah lagi terlihat berbaur dengan warga. Aku tidak tahu mengapa."
Pairah mengakhiri kisahnya. Ia takut mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Lebih baik membiarkan Bana tetap dengan kenangan indahnya. Tentang ibu. Tentang masa lalu mereka. Kemudian ia membuka sedikit pengalamannya selama di kota. Tentang kekayaan yang dia bawa.
"Waktu itu adalah hari Jum'at tanggal 23 Mei. Seluruh karyawan lelaki pergi ke masjid menjelang tengah hari. Tinggal kami bertiga; Asih, Inong, dan aku. Pintu toko kami turunkan separuh karena biasanya memang tak ada pembeli bila sedang Jum'atan. Asih dan Inong ini adalah kawanku sejak di penjara. Sekeluar penjara kami tak punya rencana atau tujuan. Pelatih keterampilan kami, Bu Sumiri, menampung kami sementara di rumah kontrakannya. Sebulan kemudian kami bekerja di sebuah toko kain. Jadi kasir dan tukang potong. Bos kami punya tiga toko besar yang saling berdempetan. Enam kawan kami yang lain, yang semuanya laki-laki, menangani logistik, antar jemput barang, pengaduan pelanggan, penagihan kredit, pembukuan harian.
"Jam satu siang, Jum'atan belum usai dan jalanan masih diblokade dengan bangku-bangku panjang, para saksi melihat beberapa orang berpakaian kaos kuning partai mondar-mandir dengan motor dekat jama'ah yang masih berdoa. Memang sore itu adalah giliran partai kuning buat kampanye di lapangan Kamboja. Di pusat kota.
"Entah dari mana datangnya, puluhan motor lain tiba-tiba sudah berada di dekat bangku yang menyekat jalan, lengkap dengan bendera dan umbul-umbul kecil. Mereka bersikeras membuka blokade jalan. Beberapa anak muda berdiri menghadang. Mereka bertengkar hebat. Seorang pemotor tiba-tiba menabrakkan roda depannya ke salah satu bangku. Itulah awal provokasinya. Partai kuning adalah partai penguasa. Mereka punya banyak uang dan menguasai segalanya. Tapi sangat dibenci banyak kalangan. Aku tidak tahu kenapa. Maksudnya, aku tidak tahu apa itu partai. Kenapa mereka bisa saling membenci.
"Kemudian aku teringat pasar subuh di Kalahan sini. Banyak blantik ikan datang. Mereka membeli ikan secara partai, memborong semuanya. Namun dengan harga lebih murah tentu. Jadi kupikir partai kuning itu semacam tukang borong ikan, blantik, calo, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan seorang serakah, bajinganlah istilahnya yang tepat. Tapi Asih mengatakan bahwa partai itu berhubungan dengan gambar-gambar, baju kaos, amanat presiden, hal-hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat.
"Asih memang pernah bersekolah sampai kelas lima. Nah, di sekolahnya tiap hari senin ada apel bendera. Seorang guru menyampaikan amanat, yaitu 'belajarlah baik-baik', sebuah amanat yang sangat membosankan. Partai adalah orang yang sangat membosankan. Jadi mungkin saja, orang yang benci partai kuning itu sudah bosan dengan semua amanat itu. Amanat presiden maksudnya. Amanat yang itu-itu juga. Karena seorang presiden itu tidak boleh tidak, pada dasarnya adalah juga seorang guru. Seorang guru gambar tepatnya. Orang konyol itulah yang bikin gambar-gambar besar di sepanjang jalan. Poster-poster raksasa yang biasa tergantung melambai-lambai di antara dua batang pohon di jalanan kota. Semacam orang-orangan sawah kalau di Kalahan sini.