Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bagaimana Bila

16 Maret 2025   20:36 Diperbarui: 16 Maret 2025   20:36 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bagaimana Bila
AR. Zanky
 
bagaimana bila suatu hari presiden mengambil cuti
dan kita angkat seorang petani sebagai pengganti
lalu berdemo di depan istana membaca pamflet dan sedikit puisi
demi memperjuangkan periuk nasi?
wah, jangan-jangan cuma menghasilkan fitnah dan disinformasi
 
bagaimana bila suatu ketika kabinet kita demisionerkan
dan para menteri kita suruh terjun ke dunia hiburan
jadi host infotaiment, badut jalanan, produser iklan komedian atau aktor dadakan?
amit-amit, jangan sampai aktingnya kampungan dan leloconnya menyakitkan
 
bagaimana bila dewan perwakilan kita bubarkan
kita beri kesempatan mereka memberi kuliah
jadi pemain sirkus atau kepala sekolah?
kan semua orang berhak jadi pandir dan omong besar,
bukannya yang tak dapat dipercaya itu dukun dan orang pintar?
 
bagaimana bila lembaga yudikatif kita rekol
kita kirim hakim dan jaksa ke penjara atau kamp kerja paksa
atau lepaskan mereka di jalan-jalan mengkhotbahkan keadilan
seperti para sophis Yunani empat ribu tahun silam
sambil menggonggongi para turis dan bangsawan?
toh semua orang boleh berasumsi tentang keadilan,
bukannya yang haram itu mengklaim kebenaran?
 
bagaimana bila tentara dan polisi melepas atribut
lalu melamar jadi penjaga WC umum, penyapu jalan
pegawai salon kecantikan atau tukang tambal ban?
bagaimana bila jet dan water canon kita gunakan
untuk memadamkan kebakaran hutan menyiram kebun jagung
atau menakut-nakuti pipit di persawahan?
toh bukan sekali dua kita ditertawakan dunia
karena mengepung baliho dan memerangi pedagang kaki lima

bagaimana bila rakyat itu sekali saja berhenti mengeluh,
belajar memahami kesulitan para pejabat?
bahwa hidup mereka juga sekarat disudutkan cukong dan konglomerat
bahwa untuk menyelaraskan keselamatan diri dengan kepentingan investor global
perlu beribu-ribu konsesi, langkah mundur taktis dan jutaan tumbal,
bahwa dalam birokrasi akhir zaman orang wajib saling menikam
saling gosok dan menenggelamkan
saling dorong dan menjatuhkan
 
cobalah sesekali yang awam jangan sinis dengan cendikiawan
jangan mengukur dengan sembarang timbangan
jangan menggalah rembulan kalau tak panjang tangan
jangan hobi memposting aib-aib orang
jangan anggap mereka kalis dari godaan,
lagian, siapa sih di dunia ini yang tak fana
tak pernah terkecoh fatamorgana
selalu sentosa dari angkara murka?
cobalah jangan terlalu naif hei kawan,
geserlah sedikit sudut pandang tentang kesejatian
berempatilah pada kafilah yang sedang tersesat jalan
kalau bajing saja kalian biarkan bebas melompat dari kelapa ke kelapa,
kenapa bajingan kalian larang berakrobat dari pantat ke kepala?
 
bagaimana jika seniman budayawan kita beri waktu berorasi membela diri?
menjelaskan duduk perkara rumah tangganya
memaparkan kecanggihan orientasi filosofisnya
membacakan proposal aspirasi peran agungnya
- tunggu!
jangan bersorak dulu saya tidak sedang melucu,
tak ada yang keliru pada orang yang hobi menemukan justifikasi
demi menyerap kehendak terpendam situasi
bukan hal yang melanggar etika
jika seseorang berubah seketika
tidak bisa disebut hina
orang yang mengabdi mati-matian pada segolongan cita-cita
janganlah terlalu cepat baper, sepi sendiri
merasa ditinggalkan di tengah jalan sebab,
sebenarnyalah mereka sedang menuju tanah pengasingan
dimana sepi dan kehampaan
bersiap meringkus dan menjebloskannya ke jurang kesia-sian
 
cobalah kita andaikan para rohaniawan turun ke jalan-jalan
ngopi di gardu, atau nongkrong dekat lampu merah mencerna,
menganalisa, mengenali penyakit zaman
merumuskan kenyatan
meluruskan pengertian tentang Tuhan dan keadilan
mengokohkan lagi akidah dan keimanan
membanting tulang memberi keteladanan
- tunggu!
jangan ketawa dulu saya tidak sedang melempar dadu,
apa kalian kira setan sudah punah semua?
apa kalian sangka dunia ini akan pernah sempurna?
kita sungguh-sungguh masih perlu mereka
walau jelas mereka tak membutuhkan kita,  
itulah sebabnya pengandaian-pengandaian ini tak akan ada habisnya
itulah mengapa selalu saja kita bertolak belakang dengan realita
 


 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun