Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Di Sini Aku Berdiri

29 November 2024   15:01 Diperbarui: 29 November 2024   15:01 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sini Aku Berdiri

"Siapa saja yang sudah datang, Wan?" Tanya saya pada Iwan

yang menjaga parkiran.

Iwan tersenyum masam; "abang kamu barusan pulang sama

istrinya tadi."

Kami sama terdiam. Keadaan belum berubah sejak bertahun-tahun

ini. Tiap kali saya ziarah, hati saya terus merasa gundah. Ahli

makam ini tentulah bukan orang yang ingin jasanya dibalas atau

dikenang. Tapi walau bagaimana, beliau adalah muassis, pendiri,

penyumbang tanah, pekerja utama, pencari dana, pengajar,

negosiator, penanggungjawab utama segala keperluan panti.

Saya tidak sempat bertemu beliau. Tapi kabar dari para senior

yang merupakan angkatan pertama di panti, penghuni makam

yang saya ziarahi ini memang pecinta yatim dan piatu sejati.

Konon anak anak yang terlalu kecil dan tidak terbiasa tidur

sendiri, akan diemong dulu oleh beliau bersama istri. Dia

akan tidur di kamar beliau sendiri hingga mampu bersosialisasi.

Setiap malam beliau meronda ke asrama. Memeriksa satu

persatu kelambu anak asuhnya apakah ada nyamuk atau kepinding.

Memastikan semua anak bisa tidur dengan tenang dan aman.

Beliau suka berdiri di tengah-tengah ruangan. Menyimak dan

mendengarkan dengkur anak-anak terlantar itu. Lantas beliau

mengangkat tangan dan berdoa untuk semua orang: anak asuh,

guru-guru, seluruh staf dan petugas panti.

Menjelang tengah malam, beliau pergi ke sungai untuk

mencari ikan buat seisi panti. Pulang jam tiga pagi dan

menyerahkan hasil tangkapan kepada juru masak. Waktu

itu penghuni panti belum sampai 80 orang, putra dan putri.

Setelah shalat malam, beliau kembali ke asrama menjelang

subuh. Mengajak anak-anak sembahyang berjamaah.

Usai shalat subuh, beliau berceramah secara umum. Dan

setiap kali memandang wajah anak-anak asuhnya beliau

selalu berurai air mata. Tak mampu melanjutkan ceramah.

Beliau seorang yang sangat halus rasa dan penuh cinta kasih

sesama. Bagi mereka yang sempat diasuh langsung oleh

beliau, pastilah merasakan sentuhan hati dan empati yang

dalam. Beliau sungguh merupakan pengganti orangtua

yang sesungguhnya.

Cerita dan kenangan-kenangan menyentuh itulah yang

membuat saya selalu menyempatkan diri sowan ke makam

beliau setiap ada kesempatan. Baik karena kebetulan lewat

atau karena momen keagamaan seperti lebaran atau Idul

Adha. Walau sesudahnya membuat saya selalu tercenung.

Entah sudah berapa ribu alumni dari panti yang beliau dirikan.

Dari SD sampai SMA, kok makam beliau setengah terbengkalai?

Tidak seperti makam-makam lain yang bersih dan ada taburan

bunga baru setiap kali saya sowan. Sungguh mengherankan.

Padahal sekolah, asrama, dan masjid yang beliau dirikan

masih segar bugar adanya. Para alumnus itupun tidak semuanya

pergi merantau. Masih tinggal di sekitar kabupaten yang sama.

Bahkan banyak yang pulang balik kerja setiap hari melalui

komplek pemakaman ini. Apa yang terjadi dengan mereka?

Atau apakah yang terjadi dengan saya? Apakah saya terlalu baperan?

Apakah saya tertinggal dan hidup di masa silam? Tidak sedikit

dari alumnus panti yang jadi pengusaha, anggota dewan,

dosen, ASN, guru dan kyai. Ke mana mereka ya? Demikian

saya bertanya dalam hati setiap pulang dari ziarah.

Keheranan saya tidak kunjung terjawab hingga sekarang.

Saya justru terinspirasi dengan kuat oleh keadaan makam

beliau yang sunyi sepi itu. Bahwa pecinta sejati itu tidak

pernah peduli dengan pamrih. Bahwa hati yang besar itu

tidak bisa ditundukkan oleh kesunyian dunia. Bahwa jiwa

yang murni itu adalah warga istimewa negeri keabadian

yang tenggelam sepenuhnya dalam misteri keadilan Tuhan.

(In Memoriam KH.Sulaiman Kurdi, Kertak Hanyar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun