Di Sini Aku Berdiri
"Siapa saja yang sudah datang, Wan?" Tanya saya pada Iwan
yang menjaga parkiran.
Iwan tersenyum masam; "abang kamu barusan pulang sama
istrinya tadi."
Kami sama terdiam. Keadaan belum berubah sejak bertahun-tahun
ini. Tiap kali saya ziarah, hati saya terus merasa gundah. Ahli
makam ini tentulah bukan orang yang ingin jasanya dibalas atau
dikenang. Tapi walau bagaimana, beliau adalah muassis, pendiri,
penyumbang tanah, pekerja utama, pencari dana, pengajar,
negosiator, penanggungjawab utama segala keperluan panti.
Saya tidak sempat bertemu beliau. Tapi kabar dari para senior
yang merupakan angkatan pertama di panti, penghuni makam
yang saya ziarahi ini memang pecinta yatim dan piatu sejati.
Konon anak anak yang terlalu kecil dan tidak terbiasa tidur
sendiri, akan diemong dulu oleh beliau bersama istri. Dia
akan tidur di kamar beliau sendiri hingga mampu bersosialisasi.
Setiap malam beliau meronda ke asrama. Memeriksa satu
persatu kelambu anak asuhnya apakah ada nyamuk atau kepinding.
Memastikan semua anak bisa tidur dengan tenang dan aman.
Beliau suka berdiri di tengah-tengah ruangan. Menyimak dan
mendengarkan dengkur anak-anak terlantar itu. Lantas beliau
mengangkat tangan dan berdoa untuk semua orang: anak asuh,
guru-guru, seluruh staf dan petugas panti.
Menjelang tengah malam, beliau pergi ke sungai untuk
mencari ikan buat seisi panti. Pulang jam tiga pagi dan
menyerahkan hasil tangkapan kepada juru masak. Waktu
itu penghuni panti belum sampai 80 orang, putra dan putri.
Setelah shalat malam, beliau kembali ke asrama menjelang
subuh. Mengajak anak-anak sembahyang berjamaah.
Usai shalat subuh, beliau berceramah secara umum. Dan
setiap kali memandang wajah anak-anak asuhnya beliau
selalu berurai air mata. Tak mampu melanjutkan ceramah.
Beliau seorang yang sangat halus rasa dan penuh cinta kasih
sesama. Bagi mereka yang sempat diasuh langsung oleh
beliau, pastilah merasakan sentuhan hati dan empati yang
dalam. Beliau sungguh merupakan pengganti orangtua
yang sesungguhnya.
Cerita dan kenangan-kenangan menyentuh itulah yang
membuat saya selalu menyempatkan diri sowan ke makam
beliau setiap ada kesempatan. Baik karena kebetulan lewat
atau karena momen keagamaan seperti lebaran atau Idul
Adha. Walau sesudahnya membuat saya selalu tercenung.
Entah sudah berapa ribu alumni dari panti yang beliau dirikan.
Dari SD sampai SMA, kok makam beliau setengah terbengkalai?
Tidak seperti makam-makam lain yang bersih dan ada taburan
bunga baru setiap kali saya sowan. Sungguh mengherankan.
Padahal sekolah, asrama, dan masjid yang beliau dirikan
masih segar bugar adanya. Para alumnus itupun tidak semuanya
pergi merantau. Masih tinggal di sekitar kabupaten yang sama.
Bahkan banyak yang pulang balik kerja setiap hari melalui
komplek pemakaman ini. Apa yang terjadi dengan mereka?
Atau apakah yang terjadi dengan saya? Apakah saya terlalu baperan?
Apakah saya tertinggal dan hidup di masa silam? Tidak sedikit
dari alumnus panti yang jadi pengusaha, anggota dewan,
dosen, ASN, guru dan kyai. Ke mana mereka ya? Demikian
saya bertanya dalam hati setiap pulang dari ziarah.
Keheranan saya tidak kunjung terjawab hingga sekarang.
Saya justru terinspirasi dengan kuat oleh keadaan makam
beliau yang sunyi sepi itu. Bahwa pecinta sejati itu tidak
pernah peduli dengan pamrih. Bahwa hati yang besar itu
tidak bisa ditundukkan oleh kesunyian dunia. Bahwa jiwa
yang murni itu adalah warga istimewa negeri keabadian
yang tenggelam sepenuhnya dalam misteri keadilan Tuhan.
(In Memoriam KH.Sulaiman Kurdi, Kertak Hanyar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H