Lambang Keluhuran
Suatu  malam  di bulan  September 1998,  saya  keterusan membaca hingga lewat tengah
malam. Suasana sangat hening. Â Detak jarum jam dinding terdengar keras. Â Saya melongok ke lu-
ar jendela, ke arah langit. Â Bulan sudah menghilang. Â Tapi cakrawala ditaburi ribuan bintang. Me-
gah  meluas  sejauh  mata memandang.  Lalu saya mendengar langkah-langkah ibu yang khas de-
ngan bunyi keriut sandal jepitnya sehabis mengambil air wudlu. Ibu menggelar tikar sembahyang
untuk bertahajud malam. Saya menyimak bisik lirihnya ketika membaca ayat dan doa.
Saya  tercenung.  Sudah  puluhan  tahun ibu melakukan rutinitas itu.  Mengapa baru seka-
rang  saya  menyadarinya?  Pada  kesempatan lebaran,  ketika semua anak berkumpul,  ibu sering
mengatakan  bahwa  beliau  selalu  berdoa  untuk keselamatan dan kebaikan anak cucunya.  Saya
menyadari, Â doa ibulah yang selama ini menyangga kehidupan kami. Â Saya mengambil pena dan
menulis puisi berikut:
                 Â
KEAGUNGAN CINTA
dari apakah ibu diciptakan?
dia yang menyapih manusia dengan segenap doa tetumbuhan
melulur duka jadi nyanyian keabadian
menimang-nimang jiwa kita dengan kudus kasih sayang
mengajuk sukma dengan tenunan pelangi kehangatan
dan cinta, adakah lagi tersisa?
urat-urat yang menegang sepanjang tahun
adalah busur kehidupan darimana nasib dilepaskan
tulang-belulang yang terlantar dari pembaringan
adalah tonggak-tonggak kehidupan tempat tegaknya kebahagiaan
darah daging yang beku tanpa perapian
adalah arus kehidupan yang tak pernah diam sepanjang zaman,
dialah negeri para bintang
tempat manusia mencermin keagungan
dialah tanah air telaga kedewataan
tempat manusia menawarkan luka perasaan
dialah lembah subur penggembalaan
tempat kita menembangkan lara kesesendirian
dialah keharuman nurani
tempat mekar bunga-bunga surgawai
dialah kekasih hati
untuk apa ombak dan ikan-ikan menari
                        Malam Jum'at, 17-9-1998
Pintu Kelapangan
19 tahun kemudian ibu meninggal dunia. Â Dikuburkan jam 5 sore, Â hari kamis. Â Malam itu
saya tak bisa tidur. Â Bolak-balik dari rumah ke makam ibu, Â di mana tiga orang ustadz membaca-
kan Al-qur'an. Terkenang seluruh kelakuan saya, juga semua saudara saya yang 8 orang itu, yang
sudah pernah menyakiti hati beliau. Membuat ibu menangis dan terluka.
Saya teringat kata-kata beliau, Â bahwa seluruh kemarahan, Â kejengkelan, bahkan kata-kata
kasar yang diakibatkan oleh ulah kami, tidak pernah sampai ke hati. Sebab tidak ada ibu yang bi-
sa marah  dengan  anaknya,  apalagi mengharapkan kecelakaan.  Jam 1.50,  saya menulis di buku
harian: "Mungkin ini adalah waktu paling mengguncangkan dalam seluruh kehidupanku. Â Seakan
waktu  selama  40 tahun  ini memadat dalam satu saat;  ibu,  orangtua satu-satunya yang kukenal
meninggal dunia. Beliaulah yang selama puluhan tahun kudengar doa lirihnya di tengah kesunyi-
an  malam.  Beliaulah  yang menyandang duka duniaku dalam kebisuan yang tak terpahami oleh
bahasa manusia. Beliau yang menginspirasi segala bentuk keteguhan hati dalam menghadapi ma-
rabahaya petaka dunia yang tak berkesudahan." Lalu secara spontan saya menulis sajak ini:
Â
I B U
                  Malam Pertama Setelah Kepulangan
adalah pintu-pintu langit dan bumi
yang selalu terbuka
betapapun keras bisa dan racun
merajang sekujur tubuhnya,
adalah ricik air kedamaian di tengah malam
di mana hati para kekasih
senantiasa berjaga dengan doa
bagi kemaslahatan dunia,
adalah matahari kehidupan
yang tak pernah berkedip
betatapun pekat tabir dan asap
mengepung cahaya,
adalah bumi kesadaran
tempat berpulang segala petualang
yang tersesat jalan,
adalah laut kesunyian semesta alam
yang dengan telaten dan sabar
menanggung dan merahasiakan
duka manusia
hanya bagi dirinya
andai segenap embun
yang pernah mengilaukan dedaun
ditampung dan disaring kemurniannya,
bisakah sesuci air susunya?
jika seluruh ikan di samudra dunia
merapalkan doa dan mantra,
mampukah sedalam air matanya?
dan tatkala bintang-bintang
bergeser dari manzilahnya
serta waktu melenceng
dari janji-janjinya,
ibu akan tetap berjaga
di pintu mahaluas semesta:
pintu-pintu langit yang senantiasa bersukacita
menyambut kepulangan anak-anak zamannya
                              Tambak Sirang Laut,
                              Malam Jum'at, 8-9-2017. 2.33 WITA
Apakah kalian masih punya orangtua? Â Ayah atau ibu? Â Atau keduanya? Â Tulislah momen-
momen berkesan tentang mereka. Â Karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama
mereka.  Boleh  jadi  sesuatu yang hari ini kita anggap biasa-biasa saja, puluhan tahun kemudian
akan menjadi tumpuan kenangan kita tentang mereka. Â Menjadi inspirasi, Â referensi, bahkan sum-
ber ketenangan batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H