Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sajak Tentang Ibu

14 November 2024   08:56 Diperbarui: 14 November 2024   09:06 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pxhere.com/id/photo/1436205

Sajak Tentang Ibu

Lambang Keluhuran

Suatu  malam  di bulan  September 1998,   saya  keterusan membaca hingga lewat tengah

malam. Suasana sangat hening.  Detak jarum jam dinding terdengar keras.  Saya melongok ke lu-

ar jendela, ke arah langit.  Bulan sudah menghilang.  Tapi cakrawala ditaburi ribuan bintang. Me-

gah  meluas  sejauh  mata memandang.  Lalu saya mendengar langkah-langkah ibu yang khas de-

ngan bunyi keriut sandal jepitnya sehabis mengambil air wudlu. Ibu menggelar tikar sembahyang

untuk bertahajud malam. Saya menyimak bisik lirihnya ketika membaca ayat dan doa.

Saya  tercenung.  Sudah  puluhan  tahun ibu melakukan rutinitas itu.  Mengapa baru seka-

rang  saya  menyadarinya?  Pada  kesempatan lebaran,  ketika semua anak berkumpul,  ibu sering

mengatakan  bahwa  beliau  selalu  berdoa  untuk keselamatan dan kebaikan anak cucunya.  Saya

menyadari,   doa ibulah yang selama ini menyangga kehidupan kami.   Saya mengambil pena dan

menulis puisi berikut:

                                   

KEAGUNGAN CINTA

dari apakah ibu diciptakan?

dia yang menyapih manusia dengan segenap doa tetumbuhan

melulur duka jadi nyanyian keabadian

menimang-nimang jiwa kita dengan kudus kasih sayang

mengajuk sukma dengan tenunan pelangi kehangatan

dan cinta, adakah lagi tersisa?

urat-urat yang menegang sepanjang tahun

adalah busur kehidupan darimana nasib dilepaskan

tulang-belulang yang terlantar dari pembaringan

adalah tonggak-tonggak kehidupan tempat tegaknya kebahagiaan

darah daging yang beku tanpa perapian

adalah arus kehidupan yang tak pernah diam sepanjang zaman,

dialah negeri para bintang

tempat manusia mencermin keagungan

dialah tanah air telaga kedewataan

tempat manusia menawarkan luka perasaan

dialah lembah subur penggembalaan

tempat kita menembangkan lara kesesendirian

dialah keharuman nurani

tempat mekar bunga-bunga surgawai

dialah kekasih hati

untuk apa ombak dan ikan-ikan menari

                                                Malam Jum'at, 17-9-1998

Pintu Kelapangan

19 tahun kemudian ibu meninggal dunia.  Dikuburkan jam 5 sore,  hari kamis.  Malam itu

saya tak bisa tidur.   Bolak-balik dari rumah ke makam ibu,  di mana tiga orang ustadz membaca-

kan Al-qur'an. Terkenang seluruh kelakuan saya, juga semua saudara saya yang 8 orang itu, yang

sudah pernah menyakiti hati beliau. Membuat ibu menangis dan terluka.

Saya teringat kata-kata beliau,  bahwa seluruh kemarahan,  kejengkelan, bahkan kata-kata

kasar yang diakibatkan oleh ulah kami, tidak pernah sampai ke hati. Sebab tidak ada ibu yang bi-

sa marah  dengan  anaknya,  apalagi mengharapkan kecelakaan.  Jam 1.50,  saya menulis di buku

harian: "Mungkin ini adalah waktu paling mengguncangkan dalam seluruh kehidupanku.  Seakan

waktu  selama  40 tahun  ini memadat dalam satu saat;   ibu,  orangtua satu-satunya yang kukenal

meninggal dunia. Beliaulah yang selama puluhan tahun kudengar doa lirihnya di tengah kesunyi-

an  malam.   Beliaulah  yang menyandang duka duniaku dalam kebisuan yang tak terpahami oleh

bahasa manusia. Beliau yang menginspirasi segala bentuk keteguhan hati dalam menghadapi ma-

rabahaya petaka dunia yang tak berkesudahan." Lalu secara spontan saya menulis sajak ini:

 

I B U

                                    Malam Pertama Setelah Kepulangan

adalah pintu-pintu langit dan bumi

yang selalu terbuka

betapapun keras bisa dan racun

merajang sekujur tubuhnya,

adalah ricik air kedamaian di tengah malam

di mana hati para kekasih

senantiasa berjaga dengan doa

bagi kemaslahatan dunia,

adalah matahari kehidupan

yang tak pernah berkedip

betatapun pekat tabir dan asap

mengepung cahaya,

adalah bumi kesadaran

tempat berpulang segala petualang

yang tersesat jalan,

adalah laut kesunyian semesta alam

yang dengan telaten dan sabar

menanggung dan merahasiakan

duka manusia

hanya bagi dirinya

andai segenap embun

yang pernah mengilaukan dedaun

ditampung dan disaring kemurniannya,

bisakah sesuci air susunya?

jika seluruh ikan di samudra dunia

merapalkan doa dan mantra,

mampukah sedalam air matanya?

dan tatkala bintang-bintang

bergeser dari manzilahnya

serta waktu melenceng

dari janji-janjinya,

ibu akan tetap berjaga

di pintu mahaluas semesta:

pintu-pintu langit yang senantiasa bersukacita

menyambut kepulangan anak-anak zamannya

                                                            Tambak Sirang Laut,

                                                            Malam Jum'at, 8-9-2017. 2.33 WITA

Apakah kalian masih punya orangtua?  Ayah atau ibu?  Atau keduanya?  Tulislah momen-

momen berkesan tentang mereka.   Karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama

mereka.   Boleh  jadi  sesuatu yang hari ini kita anggap biasa-biasa saja, puluhan tahun kemudian

akan menjadi tumpuan kenangan kita tentang mereka.  Menjadi inspirasi,  referensi, bahkan sum-

ber ketenangan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun