/IV/
Sang Angin tiba-tiba merindukan kesumyian
Wujud hakiki segala keberadaan,
Maka dimasukinya hutan, wujud murni keheningan,
Di sinilah Aksara pertama bertapa
sebelum burung-burung mencipta bahasa,
Di sinilah lempung-lempung derita ditempa
sebelum menjelma keluhuran duka,
Di sinilah sang raja tribuana
Sulaiman menuturkan mazmur-mazmurnya
memberi makna pada tiap fenomena di alam raya
Bahkan para houri dan peri masih di sini
dikelilingi kijang kencana
siap siaga dengan tanduk gading pusaka:
"Putri, putri penghuni alam impian
 yang keharuman rambutmu mematikan selera makan,
 tidakkah lebih pantas telaga kayangan bagi kalian?"
Sang Angin berseru keheranan
"Telaga kayangan?
 Itukah yang engkau kira puncak kesenangan?
 Tidakkah engkau tahu
 bahwa Tuhan tak mencumbu kekasih
 sewaktu dalam kesenangan?
"Betapa banyak orang menyangka abadi kebahagiaan
 sama dengan terpenuhinya hasrat-hasrat profan
 sampai berani menjual kebaikan
 demi memuaskan keserakahan,
 mereka inilah orang-orang tuna busana
 di dalam istana perjamuan sang Raja,
 ada juga yang bersikap layaknya buruh dan majikan
 hingga lepas dari sejati ganjaran,
 Kami adalah makhluk yang telah tersucikan di nirwana
 tak mendamba hasrat profan di negeri keabadian,
 Kami memilih negeri profan
 demi mencapai utuh pengabdian
 walau harus terlantar di belantara kesunyian."
Dengan kehalusan esensi ruh suci
Sang Angin menyusup ke lubuk-lubuk dimensi
Menyimak segala hal yang selama ini tersembunyi
Maka menampaklah akar pepohonan
yang memangku amanat kelestarian
Sulur-sulur tanaman jauh merembes kedalaman
menyerap misteri keunikan lebat hutan
Sumber-sunber air yang mengendap di pegunungan
ke bumi meresapkan sari-sari makanan
Binatang-binatang buas yang membuat liang
demi mewujudkan kelembutan dan kasih sayang
Rusa dan menjangan mondar-mandir penuh kemegahan
bagai laskar kencana tentara Sulaiman
Dan tatkala ia berpaling pada dunia
ratapnya giris mengharukan:
"Inikah kehidupan?
 Berapa negeri telah dibangun
 dengan arang dendam dan corang kebencian?
 Berapa kota dan istana didirikan
 hanya demi melayani hegemoni keserakahan?
 Betapa sejarah hanya disediakan
 bagi manusia-manusia berhati binatang!
 Orang-orang hidup dengan fakta-fakta palsu kenyataan
 Merasa puas dengan kebenaran dalam rombongan
 Padahal bersama banyak orang
 Tak ada sesuatu bisa dijadikan pedoman
 Karna kebenaran sudah habis tercabik-cabik diperebutkan!"
Ilalang dan rerumputan
Tikus dan kelelawar hutan
Nyanyian tangir dan sepi keterpencilan
Membersit tumpah dari bibir kesunyian,
Sang Angin meratap ngilu di tepi jurang
menyaksikan aliran pengungsi yang tak henti-henti bagai gelombang,
Seekor kijang kencana berlari keluar dari rimba
tak tahan menyaksikan kehancuran hati mereka;
wajah yang kalis dari citra kehidupan
bunga-bungapun patah tangkainya
tak lagi menemukan kedalaman kasih antara sanak saudara,
si Angsa yang indah bulu-bulunya
murni isi renungannya bertanya:
"Apakah sedang meraja di hati manusia?
 Racun apa menyuburkan kebencian mereka?
 Beratus generasi mereka bina kerajaan cinta
 Ribuan martir menyerahkan diri bawah singgasananya
 Tuhanpun mengutus nabi dan aulia
 Mengabarkan arif kepengasihan semesta-
 namun akhirnya tetap juga
 mereka berkubang dalam corang angkara!
 O apakah yang kita dapat dari semua tumpukan mayat kaum papa?
 Kenikmatan apa yang engkau dapat dalam semesta duka?"
Si Angsa menanggalkan bulu-bulu cantiknya
Meletakkan mahkota keindahan yang disandang raganya
Anginpun berkesiur sedih
Bagai doa kematian sepasang kekasih
Pada dirinya ia bergumam lirih:
"Kearifan apakah sanggup menjawab semua ini?
 Kusapih mereka dengan bekal anggun kepengasuhan
 Citra ilahiah yang diambil dari Luh keabadian
 Kututurkan inti pengetahuan para ambiya
 Kebajikan hidup yang tak bakal sirna
 Tlah kutanam benih rindu akan kesejatian di hati kereka,
 Kini, hikmah apa bisa kupakai 'tuk mencerna realita?"
Ia lalu bersimpuh bersama segenap hewan dan tetumbuhan
mengheningkan cipta
diangkatnya tangan bagai hendak menyongsong rembulan senja
hutanpun lengang dari segala suara:
"Wahai kalian yang datang dari penjuru negeri teraniaya
 Engkau yang memikul papa seluruh umat manusia,
 Kupastikan bagi kalian rumah keabadian
 Negeri sejati tanah kemuliaan!"
Sementara dalam hati ia berbisik;
"Aku tlah ditakdirkan untuk bertapa
 Menyaksikan realita tanpa memihak siapa-siapa,
 Akulah yang melahirkan mereka
 Dari kandungan kekal kebisuan semesta
 Aku pula yang menjaga kelangsungan pertumbuhan mereka
 Padakulah kelak perjalanan mereka 'kan bermuara,
 Sungguh, tak satupun bisa lari
 Dari keadilan hidup yang adikara."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H