ada setidaknya dua kenikmatan dalam kuliner, dalam hal ini tentu saja makan. yaitu makan saat pengen makan; dan makan saat waktunya makan. yang kedua ini misalnya saat lapar-laparnya kemudian ndilalah ada makanan.
mungkin itu yang dirasakan Rock Lee saat mencicipi Kari Kehidupan, yang pedesnya ngaudzubillah itu, di serial naruto. kari pedes yang saking pedesnya seolah-olah mampu menarik jiwa Lee yang hendak melayang dan damai di alam sana untuk kembali masuk ke badannya.
atau di anime Siddharta, yang setelah tirakat macem-macem, mulai mutih sampai ngalong, kemudian mengalir air matanya hanya karena memakan sup buatan gadis desa sederhana yang telah membantunya menepi dari aliran sungai yang membuatnya terapung.
kenikmatan dalam makan yang kedua ini memang cukup istimewa. yang pertama memang tetap nikmat, tetapi tidak lebih nikmat dari jenis kedua itu.
yang pertama mungkin serupa kita pengen soto, bisa makan soto. pingin rawon bisa beli dan makan rawon. pengen gado-gado, pecel, geprek, penyet, sate, dan seterusnya. kalau kita bisa begitu, tentu nikmat rasanya, bisa mempersatukan antara selera dan realitanya (wkwk).
tapi tetap saja tidak senikmat apa yang dirasakan Rock Lee dengan Kari Kehidupan, sampai-sampai dipromosikan secara amat antusias kepada naruto dkk. ini terjadi karena adanya kegentingan, sebuah fenomena yang mendekati frasa "ketika hilang baru terasa keberadaannya."
ya, ketika nyawa Lee hampir melayang, ia pun baru merasakan keberadaan dan pentingnya ia dan kehidupannya. dan sarana kesempatan keduanya hadir melalui Kari Kehidupan. Sepedes apapun kari itu, Lee tetap menganggapnya sangat berfaedah, bahkan batas minimal kekurangan Kari itu tidak lebih dari menambah semangat! kurang ampuh bagaimana coba, wqwq
termasuk mie ini. ia ada saat saya sedang lapar-laparnya. meskipun tidak parah-parah amat sampai, misalnya, menimbulkan susah tidur, susah dapet pacar, dst, tetapi tetap saja usus-usus di perut sudah menggelar aksi, kudeta besar-besaran.
karena itu. mie ini rasanya nyamleng sekali, nikmat sekali. terenak!
bukan soal subyektif atau tidak, tetapi rasa enak ini sudah tidak datang dari lidah lagi. ia telah menjelma nasihat pertapa yang mengajarkan cinta pada usus-usus, menyebarkan nilai-nilai luhur untuk peradaban lambung, dst dst.
lagi pula, saya juga masih bertahan dalam kelompok yang mempercayai jargon "satu suap, sisanya puas."