Mohon tunggu...
Abdurrahman Arum
Abdurrahman Arum Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendiri Global Currency Initiative

Abdurrahman Arum adalah pendiri Global Currency Initiative

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bisakah Dunia Tidak Tergantung dengan Dolar dan Euro?

25 Agustus 2019   08:47 Diperbarui: 25 Agustus 2019   09:00 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membeli kertas dengan emas adalah salah satu biaya yang harus ditanggung seluruh negara di dunia karena mengadopsi atau meminjam mata uang negara lain untuk dijadikan mata uang internasional.

Kedua, biaya depresiasi

Mata uang Dolar AS dan Euro yang kita beli dengan barang dan jasa yang riil tersebut setiap tahun nilainya turun atau terdepresiasi.

Dari pertama kali dikeluarkan pada tahun 1913, Dolar AS nilainya telah turun 95,5% per 2016 yang lalu. Kalau kita memegang 1 Dolar AS pada tahun 1913 dan uang dolarnya kita simpan, maka tahun ini uang tersebut hanya bernilai 4,5 sen dari Dolar AS tahun 1913.

Semua mata uang terkuat di dunia, termasuk Dolar dan Euro, nilainya rata-rata turun 2% per tahun. Kalau kita memegang 1 Dolar mungkin tidak masalah. Tapi kalau kita memegang 1 milyar dolar, maka itu sangat masalah.

Saat ini cadangan devisa Indonesia ada di kisaran 120 milyar dolar. Dan nilainya turun 2% per tahun. Artinya Indonesia kehilangan 2,4 milyar dolar setiap tahun, kalau dirupiahkan sekitar 36 triliun rupiah. 36 triliun rupiah kalau dipergunakan untuk membangun jalan tol bisa mencapai 360 km, atau separuh Jakarta -- Surabaya. Jadi kalau jalan tol Jakarta -- Surabaya dibangun menggunakan biaya depresiasi cadangan devisa, 2 tahun selesai.

Semakin besar sebuah negara memiliki cadangan devisa, semakin besar biaya depresiasi yang mereka alami. China yang memiliki cadangan terbesar di dunia, yaitu 3 triliun dolar AS, kehilangan 60 milyar dolar setiap tahun. Kalau dirupiahkan sekitar 900 triliun rupiah. Atau hampir separuh APBN pemerintah kita tahun 2018.

Depresiasi mata uang sebenarnya bukanlah benar-benar biaya. Tapi biaya yang diambil oleh negara yang memiliki mata uang tersebut. Depresiasi rupiah misalnya, bukanlah benar-benar biaya. Tapi nilainya diambil oleh yang mengeluarkan mata uang rupiah, yaitu pemerintah RI.

Semua mata uang di dunia mengalami depresiasi. Karena semua mata uang melekat pada APBN negara masing-masing. Semua pemerintah negara di dunia melakukan kebijakan defisit, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Defisit ini kemudian ditutup dengan utang dan mencetak uang baru. 

Akibatnya adalah mata uang mereka terdepresiasi. Jadi depresiasi mata uang adalah pajak tidak langsung yang diambil pemerintah. Manfaat dari depresiasi itu kemudian dikembalikan kepada penduduknya dalam bentuk pertumbuhan ekonomi. 

Dan pertumbuhan ekonomi selalu lebih besar dari depresiasi mata uang. Jadi tidak ada masalah dengan depresiasi, karena masyarakat masih diuntungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun