Hari hari ini, korupsi telah menjadi budaya bagi para elit kuasa. Hal ini dikarenakan insitusi yang lemah dan juga profesionalitas pemerintahan yang jauh dari norma-norma hukum. Belum lagi elit kuasa yang baja terhadap hukum. Acap kali pertanyaan besar sering muncul, kenapa korupsi sangat sulit teratasi. Ataukah sudah menjadi kebiasaan kita dalam praktik keseharian kita? Ataukah hukum terlalu lemah dalam menangani kasus korupsi?
Pertanyaan ini, penulis akan mengupas mengenai latar  belakang korupsi. Korupsi merupaka tindak pidana hukum yang masuk dalam kategori extra ordinary (kejahatan luar biasa). Sebab korupsi adalah tindakan yang dapat merugikan banyak orang maupun negara. Sehingga Korupsi masuk dalam kategori kejahatan yang luar biasa. Tentu tidak semua elit korupsi, tapi elit tentu terjerat kasus korupsi.
Anehnya, korupsi telah menjadi budaya kita dalam menjalankan biduk kenegaraan. Pasalnya kasus-kasus korupsi telah menjadi kebiasaan kita dalam bernegara. Hari demi hari tindakan korupsi marak terjadi. Ajaibnya tindakan ini lebih berdampak pada orang-orang yang memegang kekuasaan. Kenapa demikian adanya? Padahal orang berkuasa tentu sudah memiliki segalanya.
Fitrah manusia ada dua unsur dasar yaitu, keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan manusia cenderung terbatas namun keinginan manusia tidaklah terbatas. Orang melakukan korupsi dikarenakan keinginan mereka yang tidak terbatas. Padahal dilihat dari kebutuhannya jauh lebih dari cukup. Keinginan berlebihan cenderung membuat seseorang menjadi serakah. Dengan keserakahan inilah korupsi menjadi sifat elit yang tidak bisa dihindarkan.Â
Jauh dari itu, persekongkolan elit juga menjadi sistem bagi jatah. Sehingga tidak dapat dimungkiri, saling melindungi telah menjadi kebiasaan wajar dikalangan elit kuasa. Ini juga menjadi praktik kelompok yang mempunyai kepentingan dalam bagi-bagi jatah. Dari praktik inilah, siap menjadi lazim di negeri ini.
Belum lagi sistem pemerintahan yang lemah, dan inefisiensi birokrasi telah membuat korupsi menjadi legal dilakukan. Sistem yang bobrok juga menjadi alasan korupsi sangat lazim dilakukan.
Keserakahan merupakan sifat alamiah manusia. Namun dengan Postulat alamiah itulah adanya norma sebagai kode etik dan hukum sebagai aturan. Sayangya, diera yang semakin modern ini, ada kita sebut dengan manusia kebal hukum. Korupsi sulit diatasi karena adanya kekebalan hukum. Kepentingan demi kepentingan membuat kelenturan hukum di badan elit kuasa.
Hal ini menjadi kesulitan dalam mengatasi kasus korupsi yang marak terjadi. Padahal jika dilihat dari nilai subtansinya, korupsi haruslah menjadi perhatian semua pihak, terutama penegak hukum.Â
Sayang kelalaian hukum menjadikan korupsi menjadi tukar tambah kebutuhan. Dapat dikatakan keinginan bersua kebutuhan. Relasi kuasa menjadi peluang koruptor untuk saling melindungi. Perilaku tersebut juga sering membuat adanya tumbal untuk mengamankan posisi. Itulah sistem! Korupsi sudah menjadi mata rantai kebutuhan. Saling melindungi sudah menjadi kewajaran sistem.Â
Bagaimana dapat teratasi, sementara persekongkolan elit terus membentuk kelompok-kelompok yang mempunyai power kuasa. Praktik demikianlah membuat korupsi menjadi lazim di tanah air.
Korupsi merupakan sikap, tapi kini korupsi sudah menjadi sifat. Hal ini dikarenakan keserakahan yang sudah menjadi kebutuhan. Dorongan faktor inilah pembagian jatah demi jatah menjadi praktik dikalangan koruptor.Â
Dari sinilah kita ketahui, Korupsi sangat muskil untuk diatasi. Sistem, oknum, kelompok sudah menjadikan korupsi adalah sifat. Dari sifat inilah ia menjadi alamiah dikalangan elit kuasa. Ditengah kelembekan hukum bagi kuasa, korupsi pula menjadi darah daging elit. Tentu tidak semuanya, namun hanya di elit kuasa lah korupsi itu berlaku.Â
Hukum pun tumpul, penegakan lalai. Kepentingan pun bersua kebutuhan. Jika terorisme adalah kejahatan luar biasa, lantas bagaimana dengan korupsi? Korupsi adalah maling, tapi maling belum tentu koruptor.
Ketika maling sandal, dijerati pasal berlapis-lapis. Penelusuran hukum pun sangat teliti. Menelusuri kebenaran perilaku pencuri dengan penegasan yang tiada henti. Sayang, itu berlaku bagi manusia biasa.Â
Lantas bagaimana dengan manusia super power yang melakukan korupsi? Tentu langkah hukum beda. Di sinilah kita akan menemukan kelemahan hukum. Ketidakadilan dan keberpihakan ditemukan. Prosesnya berbulan bahkan tahun lamanya. Inilah proses hukum yang kadang tumpul ke atas tajam ke bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H