Pulau Jawa menjadi pertaruhan penting setiap perhelatan Pemilu Presiden, sebab daerah ini ada sekitar 58% pemilih dari semua total DPT yang sekitar 190jt seluruh Indonesia, pulau Jawa pemilihnya sekitar 110jt. Sedangkan 42% pemilih tersebar seluruh Indonesia mulai dari pulau ujung barat Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, hingga ujung timur Papua, sekitar 80jt pemilih.
Melihat hasil perolehan suara Jawa Barat di pileg menarik ketika Gerindra dan PKS menyalip PDIP dan Golkar di 2019, dari partai urutan ke 4 di 2014 menjadi urutan ke 2 PKS di 2019 secara perolehan kursi, Gerindra dari urutan ke 5 menjadi partai urutan ke 1. PDIP dan Golkar urutan 1 dan 2 pada 2014, turun ke 3 dan ke 4. Bisa dikatakan Jawa Barat menjadi basis Gerindra dan PKS yang waktu 2019 mengusung Prabowo-Sandi yang memperoleh 60% suara. Hal ini tidak jauh berbeda di Banten dan Jakarta yang masih dikatakan Jawa Barat.
Sedangkan Jawa Tengah, bisa dikatakan basis PDIP dimana ketika Pilpres 2019 mengusung Jokowi-Ma'ruf 77%. PDIP dari 27 kursi di 2014 menjadi 42 kursi di 2019, naik sekitar 36%, PKB menjadi juara 2 dengan 20 kursi, urutan ke 3 Gerindra 13. Urutan perolehan kursi tidak jauh berbeda seperti 2014, tidak ada yang signifikan kecuali perolehan kursi PDIP. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Jogja perolehan suara PDIP dengan partai lainnya.
Sedangkan Jawa Timur adalah daerah yang sangat tidak bisa ditebak kecenderungan dukungan pada partai-partai, bisa dikatakan sangat dinamis preferensi setiap event pemilu. Jawa Timur bisa dikatakan basis masa NU yang kadernya menyebar ke setiap partai. 2009 Demokrat menguasai, PDIP dan PKB menjadi urutan ke 2 dan 3, berbeda 2014 PKB menjadi juara dengan PDIP dan Gerindra urutan 2 dan 3, sedangkan 2019 PDIP yang langganan runnerup menjadi juara, PKB yang bisa dikatakan pemilik kandang harus turun kasta ke 2 dengan tetap Gerindra di urutan ke 3.
Walaupun Jawa Timur pada 2019 Jokowi-Ma'ruf memperoleh 65%, naik sekitar 10% dari 2014 yakni 55%, akan tetapi perolehan suara partai politik tidak ada yang signifikan perubahannya tiga besar Jawa Timur yakni PKB, PDIP, dan Gerindra. Pemilihan gubernur Jawa Timur tidak bisa dijadikan referensi sebagai preferensi yang linier dengan partai pengusung. Bisa dikatakan perolehan suara pemilu eksekutif dan legislatif tidak ada berpengaruh sejak 2014. Buktinya Pak De Karwo dari Demokrat pemenang Pilkada Gubernur 2013 malah Demokrat jatuh urutan ke 4 ketika Pileg 2014, yang Pileg 2009 menjadi juara 1.
Bisa dikatakan suara dan kursi partai sejak Pemilu 2014 hingga 2019 tidak ada perubahan sama sekali, yang artinya jarak suara dan pergeseran suara tidak signifikan. PDIP selalu kalah di Pilgub Jawa Timur, bahkan 2018 habis kalah Pilkada dengan mengusung kader di wakil gubernur, tapi masih stabil suaranya dan menjadi pemenang Pileg 2019. Sedangkan partai pengusung Khofifah-Dardak di Pilgub 2018 kebanyakan malah merosot perolehan suara dan kursinya di 2019. Uniknya juga, siapapun yang jadi gubernur, partai yang bukan pengusungnya di DPRD Jatim tidak pernah terdengar konflik di publik. Sedangkan di daerah lain tentu akan ramai gubernur dan DPRD tidak sejalan dan bahkan perang opini di media jika mayoritas partai di parlemen daerah kalah di Pilgub.
Melihat kekalahan Prabowo di dua kali perhelatan Pilpres banyak yang berasumsi sebab wakil pasangannya bukan dari Indonesia Timur yang sentral utamanya adalah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, atau tidak merepresentasikan NU yang besar di Jatim. Sedangkan kemenangan Jokowi diasumsikan sebab wakilnya selalu merepresentasikan Kader NU yakni JK dari Sulawesi Selatan dan Ma'ruf Amin walaupun bukan dari Indonesia Timur tapi dari kader elit NU.
Nahdlatul Ulama memang bisa dikatakan sentralnya di Jawa Timur, tapi kader elitnya tersebar seluruh Indonesia. Setidaknya jika pasangan Pilpres salah satu kandidatnya merepresentasikan NU, masih diasumsikan kuat peluangnya untuk menenangkan Pilpres. Pemilu legislatif dan eksekutif memang pendekatannya berbeda, legislatif menekankan pendekatan elektabilitas dan sedangkan Pilpres lebih pada akseptabilitas. Sedangkan di Indonesia ada Pemilu legislatif dan eksekutif, yang di sistem parlementer hanya Pemilu legislatif, hal ini konsekuensi sistem pemerintahan presidensial.
Legislatif lebih pada penguatan kader sedangkan eksekutif lebih pada mayoritas masa dan kombinasi kader untuk menjadi pendominasi atau juara pemilu. Hal ini yang menjadi perhatian kenapa cocktail effect kandidat Pilpres berdampak pada hasil Pileg, sebab akseptabilitas mayoritas masa pasangan Pilpres berdampak pada penguatan elektabilitas kader di Pileg. Hal ini menjadi asumsi dasar kenapa PDIP menjadi partai juara berturut-turut di 2014 dan 2019, ketika akseptabilitas mayoritas masa pada representasi NU wakil Jokowi berdampak pada elektabilitas kader PDIP, dimana Jokowi adalah kader PDIP bergandengan dengan kader NU yang berbasis masa, sangat terlihat di Jawa Tengah dan Jawa Timur dampak ekor jas tersebut.
Bahkan PKB dan PPP mengalami kemerosotan ketika tidak bisa mengusung kadernya di pasangan Pilpres walaupun partai ini diasumsikan berbasis NU, kalah sama partai yang mengusung kadernya di kandidat Pilpres bergandengan dengan tokoh NU, efek ekor jas itu nyata ketika partai kadernya menjadi kandidat merangkul akseptabilitas mayoritas masa. PDIP sangat diuntungkan sebab pasangan kandidat Pilpres yang merepresentasikan NU hanya satu yakni wakil presiden dari Jokowi yang kader partainya di Pilpres 2014 dan 2019. Berbeda ketika kader NU tidak hanya satu ketika pemilu 2004 dan 2009.
Bagaimana dengan perhelatan Pilpres 2024, hingga saat ini dipandang akan ada empat poros pengusung, yakni pertama KIB (koalisi Indonesia bersatu) di isi partai Golkar, PPP, dan PAN dengan asumsi yang akan diusung Airlangga, Monoarfa, Zulkifli, Erick Thohir. Lalu kedua Gerindra dan PKB dengan asumsi Prabowo-Muhaimin, ketiga yakni Nasdem, Demokrat, dan PKS yang asumsi kuat akan diusung AHY, Surya Paloh, Syaikhu, dan Anies. Poros terakhir PDIP sebab bisa mengusung sendiri tanpa membentuk kerjasama gabungan partai politik dengan asumsi kuat akan mengusulkan Puan, Ganjar, Risma, dan Anas.