Artikel dalam tulisan ini bermuatan ras, etnis, atau golongan. Tetapi artikel ini tidak bertujuan untuk menghasut suku tertentu, atau bermaksud untuk menjelek-jelekkan ras/golongan tertentu, melainkan sebagai suatu solusi dan cara pencegahan masalah dari fenomena kesukuan yang terjadi di Indonesia. Fenomena kesukuan yang saya maksud disini (bahasa saya sendiri) adalah realita masyarakat kita yang terlalu memuja-muja kesukuannya/etnisnya namun di sisi lain juga tidak mau terbuka atau bahkan menolak eksistensi atau dominasi suku lain. Hal itu dapat menyebabkan "crash" di antara kedua suku dan sama sekali tidak menyelesaikan akar permasalahan. Kontak fisik dapat terjadi antara kedua suku yang sama-sama memiliki prinsip keras. Suku yang terlihat mendominasi dan orang-orangnya percaya bahwa suku mereka lebih berani dan ibaratnya "berani mati", atau kebal terhadap intimidasi suku lain, percaya bahwa suku merekalah yang paling hebat. Ironisnya, prinsip atau watak keras kesukuan itu tidak diimbangi dengan rasa toleransi atau sikap saling menghargai terhadap suku lainnya. Yang terjadi ibaratnya batu melawan batu, dan jelas tidak ada solusinya. Sebelum kekonyolan itu terjadi, cara pencegahan bisa dilakukan.Â
Cara pencegahan bisa dilakukan dari luar dan dalam. Dari luar, bisa melalui masyarakat luar suku atau komunitas tertentu, atau bisa juga dilakukan melalui perwakilan pemerintah (Menteri Kebudayaan atau Sosial misalnya), yang turun ke lapangan dalam melakukan sosialisasi serta melakukan pertemuan yang mempertemukan dua suku atau beberapa suku dan mengenalkan mereka mengenai kerukunan dan sikap toleransi. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak mengambil peranan yang signifikan terhadap tumbuhnya rasa toleransi dan saling menghargai, dalam artian peran pemerintah atau peran luar hanya menyumbang sebesar 30% terhadap rasa toleransi yang ada dalam suku itu sendiri. Itu berarti peran dari dalam (peran dari masyarakat suku itu sendiri) mengambil porsi yang lebih besar (70%) dimana peran yang besar itu dapat membantu membentuk watak dan pemahaman kesukuan. Cara pencegahan dari dalam yaitu dari masyarakat suku itu sendiri. Bukan hanya dari pemimpin atau tokoh kesukuan, melainkan semua suku yang menjadi suku tersebut. Pencegahan yang dimaksud adalah mencegah terjadinya konflik di masa mendatang atas kesalahpahaman, atau hal-hal sepele, atau bahkan konflik yang sebenarnya bisa dicarikan solusinya. Pencegahan itu juga bermaksud untuk menumbuhkan toleransi dan saling menghargai antara kedua suku. Pencegahan dari dalam ini efektif karena dilakukan oleh komunitas suku itu sendiri.
Perang suku biasanya terjadi karena egoisme masing-masing suku yang bertikai. Sama sekali tidak mewakili kepentingan yang lebih besar, hanya kepentingan masing-masing dari mereka. Kepentingan golongan itu ibaratnya egoisme kesukuan yang berubah menjadi semangat kesukuan ibaratnya kawan saya terluka, saya juga akan melukaimu, kawan saya terbunuh, saya juga akan membunuhmu.
Perang suku, menurut saya, merupakan kekonyolan dimana pemimpin suku tersebut (yang diteladani) tidak mampu membuat anak buahnya berhenti bertikai. Perang suku yang terjadi di masa lalu menjadi pelajaran bagi kita. Namun nampaknya tawuran antar warga, atau tawuran antar desa (melibatkan kepentingan golongan) juga semakin sering terjadi di Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur dimana pembangunan tidak merata, banyaknya pengangguran, daya beli masyarakat rendah, serta pertikaian yang terjadi di pelosok negeri banyak dipicu oleh masalah lahan.Â
Intinya, di zaman modern ini ego kesukuan harus diminimalisir atau ditekan semaksimal mungkin agar masyarakat dapat bersaing dengan masyarakat lainnya. Masyarakat juga harus disejahterakan, dengan begitu mereka akan melihat dunia luar dan belajar banyak hal dari kehidupan dan tidak hanya sekedar memikirkan urusan perut semata. Selama urusan perut sudah teratasi (kemiskinan sudah diatasi) maka seseorang tidak lagi mempermasalahkan urusan perut dan beralih ke hal-hal positif lainnya. Jika hal itu terjadi maka perlahan-lahan SDM Indonesia akan naik derajat dan tidak terjadi gap yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.Â
Yang terakhir, menghilangkan ego kesukuan bukan berarti menampik asal usul sukunya melainkan membuang yang sekiranya buruk dari sukunya yang membahayakan suku lain dan menggantinya dengan rasa toleransi dan saling menghormati. Karena dengan cara itu masyarakat dapat tumbuh dengan tanpa saling curiga-mencurigai. Pendidikan dan wawasan juga penting. Pendidikan sebagai sarana pengembangan individu sedangkan wawasan sebagai cakrawala ilmu dan pengetahuan yang akan menjadikan seseorang menjadi berguna dan mendapatkan banyak ilmu. Dengan wawasan kita mengerti banyak hal. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kita juga jadi mengerti tentang masalah-masalah yang lebih luas secara global. Wawasan dan ilmu juga menjadi salah satu ciri atau indikator bahwa individu telah memiliki SDM yang berkualitas. Apalagi jika dibekali ilmu agama dan ilmu-ilmu spesifik lainnya.Â
Dengan kesejahteraan, pendidikan, ilmu dan wawasan, serta bekal agama, faktanya banyak sekali faktor-faktor yang harus dipenuhi untuk menjadi individu yang memiliki SDM yang berkualitas. Dan ironisnya hampir 20 juta atau bahkan lebih masyarakat Indonesia tidak atau belum memiliki kriteria SDM yang berkualitas tersebut. Bukan berarti karena mereka bodoh, melainkan karena (lagi-lagi) urusan perut. Jika itu bisa teratasi, maka seseorang akan merangkak ke tahapan selanjutnya entah itu pendidikan, ilmu, dan hal-hal positif lain. Jika pemikiran masyarakat tidak sempit dan memandang bahwa dunia itu luas, serta berwawasan luas, dan memiliki toleransi yang tinggi, maka SDM seperti itu sudah benar-benar jauh melampaui ekspektasi SDM yang berkualitas. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H