Pernah mendengar tidak bahwa rakyat marah karena di DPR banyak koruptornya? Pernah marah tidak karena hakim atau jaksa mudah disogok lalu dapat membolak-balikkan hukum seenaknya? Pernah merah tidak ketika mengetahui ada oknum polisi di jalanan yang meminta uang sogokan sebagai kompensasi atas tilang kendaraan? Pernah marah tidak ketika ada yang meminta "uang sogokan masuk" jika ingin masuk di Kepolisian?Â
Walaupun sebenarnya yang meminta uang sogokan itu adalah oknum dan dia sendiri tidak secara langsung berhak menentukan apakah calon kandidat polisi ini nantinya akan lolos 100% dan menjadi anggota polisi? Faktanya, budaya-budaya seperti itu merupakan cerminan pasti dari perilaku mayoritas masyarakat Indonesia itu sendiri.
Ini berhubungan dengan masalah sosial-budaya. Sejak dulu masyarakat Indonesia dikenal suka membantu, gotong-royong, dan senang bersosialisasi. Nah, ketiga perilaku tersebut dulu memang menjadi kekuatan masyarakat Indonesia. Dewasa ini, ketiga perilaku yang sejak dulu dipelihara oleh nenek moyang kita itu kini menjadi pisau bermata tiga yang membuat masyarakat kita terpuruk.Â
Perilaku suka membantu yang berlebihan dapat menyebabkan setiap orang Indonesia saling membantu, walaupun itu membantu dalam hal kejelekan atau kejahatan. Budaya gotong-royong yang dulunya merupakan budaya leluhur bangsa Indonesia yang sakral dan suci kini dipakai untuk melakukan korupsi berjamaah, atau melakukan kejahatan perampokan berjamaah. Senang bersosialisasi, tentunya secara berlebihan, membuat masyarakat kita melekat kepada kelompok-kelompok tertentu. Entah itu dia baik atau buruk.Â
Contoh jika kita sering berinteraksi dan berteman dengan koruptor semua, maka kita akan mencontoh mereka dan ketika kita tahu mereka korupsi, kita akan membela mereka kerena kedekatan akrab akibat pertemanan tersebut.
Semenjak era Orde Baru berakhir. Lambat laun budaya gotong royong kini digunakan masyarakat kita untuk melakukan kejahatan dan korupsi berjamaah, tanpa malu-malu. Mengapa? Karena mereka saling membantu dalam memperkaya diri sendiri serta kelompok mereka. Saling membantu dalam kejahatan dan keburukan sebenarnya sudah melekat dan tertanam dalam budaya masyarakat kita yang sama sekali tidak mengenal "Moral Responsibility".Â
Ini yang membuat mental SDM kita kalah bersaing dengan masyarakat global dan menjadikan kita masyarakat terbelakang. Maksudnya, dalam mayoritas masyarakat Indonesia tidak tertanam secara otomatis tanggung jawab moral, termasuk juga tanggung jawab kepada Tuhan. Beda dengan masyarakat di negara maju yang mayoritas dari mereka "aware" akan tanggung jawab moral. Tanggung jawab moral bisa dari hal-hal kecil, contohnya, membuang sampah pada tempatnya, tertib berlalu lintas, budaya mengantri, mendahulukan atau memberi tempat kepada orang yang lebih tua atau perempuan hamil di dalam bus, dan sebagainya. Itu semua adalah tanggung jawab moral.
Jika bicara secara jujur dan blak-blakan, standar moral "mayoritas" (mayoritas; tidak semua) orang Indonesia sangat rendah. Ini tidak berhubungan dengan agama dan keimanan terhadap Tuhan. Jika tanggung jawab moral masyarakat kita dikaitkan dengan agama, maka lebih rendah lagi standar moral masyarakat kita karena banyak dari kita yang memiliki keimanan yang rendah dan tidak takut Tuhan.Â
Ini fakta, mulai dari anak SD yang merokok dan mabuk-mabukan, perempuan yang bersuami tetapi selingkuh, remaja SMA yang suka berbuat mesum, para pejabat negara yang gemar korupsi, tidak tertib berlalu lintas dan berkendara dengan bebas di atas trotoar, selalu menjelek-jelekkan dan membenci polisi padahal dia sendiri tidak memakai helm atau tidak memiliki SIM, atau kakek berusia 70 tahun yang gemar mencabuli anak cucunya sendiri. Itu membuat mereka tergolong ke dalam kelompok masyarakat yang bukan hanya tanggung jawab moralnya rendah, tetapi juga kadar keimanan yang kurang dan tidak takut Tuhan.Â
Budaya korupsi yang ada dalam hampir semua elemen pemerintahan di negeri ini sebenarnya bukan melulu merupakan kesalahan para pejabat, aparat negara, atau para pemegang kekuasaan semata. Tetapi budaya korupsi masif, sistematis, dan merata di hampir setiap jengkal NKRI ini merupakan produk cerminan dari budaya perilaku masyarakat kita sendiri, tanpa kita sadari.Â
Jika pejabat DPRD korupsi, pejabat itu adalah bagian dari masyarakat. Polisi atau TNI juga merupakan bagian dari masyarakat, DPR juga. Jadi sebenarnya mau koruptor di tembak mati sekalipun, tetap akan tumbuh koruptor-koruptor baru jika perilaku masyarakatnya tidak menunjukkan tanggung jawab moral dan agama yang baik. Sampai kiamat pun budaya korupsi akan menjadi budaya permanen bangsa Indonesia dan setiap orang akan saling tolong-menolong dalam kejahatan.Â