Mohon tunggu...
Abdu Rozaqi
Abdu Rozaqi Mohon Tunggu... - -

Stay Foolish, Stay Hungry

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengislamkan itu tidaklah mudah

21 September 2015   14:51 Diperbarui: 21 September 2015   14:51 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memiliki teman baik yang saya kenal sejak semester 1 perkuliahan hingga sekarang sudah menempuh skripsi. Ia adalah orang asli NTT namun lama menetap di Jakarta dan sekolah SMA di Jakarta. Selepas ia sekolah di Jakarta, ia melanjutkan kuliah ke Malang dengan jurusan Sastra Inggris. Saya menganggapnya teman baik meskipun beda agama (saya Islam, dia Kristen katolik yang taat). Di awal semester 1 & 2 kami pernah berancana untuk memakai bahasa inggris dalam percakapan di kampus, kami menerapkannya di kafae-kafe kampus dimana kami berbicara bahasa inggris di saat ada banyak kerumunan mahasiswa lain berbicara ngalor-ngidul memakai bahasa jawa dan indonesia. Yah, meski pemakaian bahasa inggris adalah rencana kami yang tidak bisa bertahan lama, minimal kami telah melakukan sebisa kami (sebagai anak sastra inggris) untuk memaksimalkan pemakaian bahasa inggris, dibandingkan dengan mereka yang tidak. 
Ia merupakan orang yang sederhana dan tidak hidup berkelompok (seperti anak Timur lainnya yang selalu mengikuti kelompoknya). Mungkin karena hal itu juga saya menganggap teman saya ini berbeda dari yang lain. Dan karena itu juga ia dapat berpikiran terbuka (open-minded) dan berwawasan luas serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu. Itu yang membedakannya dengan anak Timur lainnya, dimana ia tidak stay di kelompoknya namun ia malah membuka diri dengan anak-anak dari suku manapun, dan dapat bergaul dengan siapapun sehingga banyak orang menyukainya.
Yang jadi permasalahan, saya pernah mencoba "memancing" dia secara perlahan untuk mengajaknya bergabung dengan Islam. Bukan mengajak secara paksa namun melalui percakapan sains dan hal-hal lainnya. Saya (kalau tidak salah) pernah mengajak ia merenung mengapa ilmuwan NASA pernah melihat hal-hal aneh yang menurutnya luar biasa dari luar angkasa. Bahkan ia juga mendengar suara adzan. Namun menurutnya biasa saja, dan ia tidak pernah menanggapi hal itu secara serius. Atau mungkin ia merenungkannya? Yang jelas, ia tidak berubah sedikitpun. 
Saya tidak memaksanya. Perdebatan tersengit kita adalah mengenai perdebatan kejahatan, kebaikan, dan Tuhan, serta hal-hal meliputi penyihir, serta rahasia atau sejarah zodiak dari zaman kenabian hingga zaman modern saat ini. Meskipun saya dan dia berdebat mengenai Tuhan dan kejahatan, namun ia menganggap bahwa ini bukan debat agama, dan saya pun setuju ini bukan debat agama. 
Perdebatan mengenai hal-hal diatas menurut dia merupakan "useless discussion", dan saya pun mengiyakan agar persahabatan kita tidak hancur hanya gara-gara perbedaan pendapat mengenai Tuhan, dsb. 
Mungkin yang ia maksud perdebatan yang tidak ada gunanya itu adalah perdebatan kusir yang arahnya tidak jelas dan maksudnya tidak jelas. memang benar perdebatan semacam itu hanya akan memupuk rasa emosi, rasa egoisme, serta bisa menghancurkan persahabatan. 
Namun kita sudah semakin dewasa menanggapinya, dan ia juga semakin hari semakin bijak dalam menggunakan kata-katanya. 
Meskipun pada dasarnya (jika debat agama atau diskusi agama) saya bisa memakai ayat apapun yang ada dalam Al-Quran (yang keaslian ayatnya 100%), toh ujung-ujungnya tidak bisa diprediksi, atau ia membantah dengan menanyakan keaslian ayat tersebut. Bisa jadi menjadi debat yang panjang dan tidak berakhir dengan bantahan yang ia lontarkan serta ayat-ayat yang saya berikan. Walaupun pada dasarnya saya tidak memaksa, namun saya tahu bahwa dia berpikir "anak itu ngotot sekali untuk mengajakku ke dalam agamanya". 
Hidup ini begitu rumit, dan di akhir perdebatan kusir antara saya dan dia, dia menyarankan agar toleransi lebih diutamakan. Pemaksaan kehendak atas doktrin agama dihilangkan agar tidak menimbulkan keributan atau hal-hal negatif lainnya. Saya tahu apa yang ia maksud, bahwa menjaga persahabatan lebih penting daripada sekedar berdebat tidak karuan. 
Intinya saya hanya berusaha mengajak kepada kebenaran, niat tulus saya mengajaknya ke jalan ini bukan berarti menyalahkan agama yang ia anut melainkan memberitahu kan ke dia bahwa "ini lho, agama yang benar, agama yang lurus, semua kebaikan terkandung didalamnya."
Pada akhirnya saya tahu bahwa mengislamkan itu urusan Tuhan, sebagai umat muslim kita hanya menyampaikannya, tidak memaksakannya. Intinya setiap dari kita melakukan tugas kebaikan untuk mengajak orang lain ke dalam jalan kebenaran. Dan masalah ia masuk Islam atau tidak, saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Dan saya berharap suatu saat ia menempuh jalan yang lurus yang penuh dengan kebaikan. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun