Wilayah kota dengan segala fasilitas-fasilitas yang menunjang kehidupan masyarakatnya dan segala kemewahan-kemewahan di dalamnya, ternyata memiliki sisi-sisi yang berbanding terbalik dengan gambaran kota yang ada di pikiran masyarakat pada umumnya. Hal yang demikian dikarenakan tidak seluruh wilayah yang ada di kota merupakan tempat yang 100 persen homogen atau sama di setiap sudut kotanya. Ada tempat di mana di sudut-sudut kota terdapat lahan-lahan atau permukiman kumuh yang sebenarnya tidak layak dihuni tetapi menjadi lahan untuk hunian bagi masyarakat-masyarakat tertentu yang ada di kota. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah permukiman kumuh biasanya adalah masyarakat-masyarakat urban yang berpindah dari desa untuk mencari penghidupan yang layak di kota tetapi bingung untuk mencari lahan untuk bermukim dan akhirnya mereka menjadikan lahan-lahan yang "ditinggalkan" menjadi hunian bagi mereka.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2016 pasal 1 ayat 18 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa "Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat". Sementara menurut Khomaruddin (Eny Endang, 2016) menyatakan bahwa permukiman kumuh ialah lingkungan yang berpenghuni padat (+500 orang/hektare), kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar, sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, serta hunian dibangun di atas lahan milik orang lain atau lahan milik negara di luar perundang-undangan yang berlaku. Pengertian-pengertian tersebut mengindikasikan bahwa ciri-ciri dari permukiman kumuh dapat dilihat dari keadaan fisik (lingkungan dan bangunan) serta non-fisik (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dll).
Terbentuknya permukiman kumuh di wilayah kota disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat untuk membeli hunian yang layak sehingga mereka mencari lahan hunian "sendiri" dengan membangun rumah semi permanen untuk dijadikan hunian bagi keluarganya. Penyebab sebelum terjadinya ketidakmampuan membeli rumah hunian yaitu karena banyaknya para kaum urban yang pindah dari desa ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, dan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan di desa, demi kesejahteraan keluarganya. Terjadinya urbanisasi karena kesempatan kerja di desa masih minim. Di desa kesempatan kerjanya hanya terpaku pada kegiatan sektor pertanian ataupun perkebunan. Kedua sektor ini dianggap memiliki penghasilan yang rendah sehingga banyak masyarakat desa yang enggan berkecimpung di sektor-sektor tersebut. Apalagi banyak petani yang dirugikan karena hasil pertaniannya tersebut tidak menguntungkan mereka secara pribadi karena hasil pertaniannya mereka jual dengan harga yang murah kepada pengumpul sementara pengumpul yang membeli langsung dari petani-lah yang biasanya melakukan kecurangan dengan menjual ke pihak lain dengan harga yang jauh lebih tinggi. Maka faktor utama terjadinya permukiman kumuh di kota karena kesempatan kerja tidak merata sampai ke desa-desa sehingga banyak masyarakat desa yang berpindah ke satu titik wilayah yang memiliki kesempatan kerja lebih banyak yang akhirnya membuat wilayah kota padat akan penduduk. Â Â
Permukiman kumuh menjadi suatu masalah di kota-kota besar di Indonesia karena memiliki dampak-dampak negatif yang merugikan pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Dampak negatif dari segi fisik atau lingkungan di permukiman kumuh diantaranya berkurangnya resapan air tanah karena tertutupnya tanah oleh bangunan-bangunan yang akan menimbulkan risiko banjir terutama bagi kota yang terdapat di dataran rendah seperti Jakarta. Selain banjir risiko bencana lainnya yaitu kebakaran. Kebakaran di kota-kota besar sering terjadi di wilayah padat penduduk terutama di permukiman kumuh karena di lingkungan tersebut bangunan saling berdekatan ditambah bangunannya semi permanen sehingga apabila ada pemicu kebakaran sedikit saja akan memudahkan api menjalar kemana-mana. Selain itu juga kebiasaan buruk masyarakatnya dalam membuang sampah secara sembarangan dan tak tidak mementingkan keadaan lingkungan sekitarnya membuat tanah dan air menjadi tercemar. Sampah yang dibuang sembarangan dan berserakan juga mengganggu estetika lingkungan tempat mereka tinggal.
Dampak non-fisik yang terjadi imbas permukiman kumuh ialah dapat dilihat dari segi pendidikan, sosial, ekonomi budaya, dan kesehatan. Para kaum urban yang pindah ke lingkungan ini biasanya mereka yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai pekerjaan yang layak. Karena kurangnya pendidikan dari awal ketika mereka menjadi kaum urban sehingga sebagian dari kalangan mereka menganggap bahwa pendidikan bukanlah suatu hal yang penting. Hal tersebut secara turun temurun ditanamkan kepada keturunan mereka. Pola tersebut seakan menjadi budaya sehingga dari mereka tidak begitu mementingkan pendidikan dan lebih mengutamakan bagaimana cara mereka memperoleh makanan atau lebih mementingkan urusan ekonomi. Kurangnya pendidikan membuat mereka tidak memahami bagaimana norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat sehingga mereka mudah melakukan penyimpangan-penyimpangan sosial seperti mabuk-mabukan, memakai obat-obatan terlarang, sex bebas, vandalisme, tawuran dan lain-lain. Lebih parahnya adalah penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat mengarah pada tindakan kriminal, seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, penjualan obat-obatan terlarang, dan lain-lain. Kurangnya pendidikan juga membuat masyarakat tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak sehingga banyak dari mereka menghalalkan segala pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kurangnya pendidikan juga menjadikan mereka abai akan kebersihan dan kesehatan lingkungannya. Wilayah menjadi kotor dan kumuh yang sarang berbagai macam penyakit, sehingga banyak dari mereka yang mudah terkena penyakit seperti diare karena sanitasi yang buruk, penyakit kulit karena air yang kotor, TBC, DBD karena lingkungan yang kotor, serta penyakit-penyakit menular yang sangat mudah menjangkiti masyarakat tersebut karena jarak rumah yang saling berdekatan.
Tak dapat dipungkiri bahwasannya banyak dampak negatif yang timbul akibat permukiman kumuh. Maka dari itu untuk mencegah akibat-akibat yang mungkin terjadi, maka sebab dari permasalahan tersebut harus dicari solusinya agar dapat mengurangi bahkan menyelesaikan masalah perkotaan ini. Maka kunci utama dalam menyelesaikan permasalahan ini ialah pendidikan. Program pendidikan menjadi kunci sukses bagi banyak negara maju di dunia. Program pendidikan harus diberikan, utamanya kepada masyarakat permukiman kumuh atau kaum urban. Pendidikan bukan hanya diberikan kepada anak-anak masyarakat tersebut tetapi juga kepada orangtuanya. Program pendidikannya dapat berupa penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, dan pelatihan keterampilan kerja. Penyuluhan tentang pendidikan penting agar orangtua memahami dengan pendidikan keadaan sosial ekonomi mereka akan jauh lebih baik. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi orangtua untuk mengusahakan pendidikan yang layak kepada anak.
Pelatihan keterampilan kerja yang di dalamnya memuat pembahasan tentang bagaimana luasnya lahan pekerjaan tak hanya di kota tetapi juga di desa, peluang pekerjaan di desa juga tak jauh dibandingkan di kota. Lalu dengan adanya pelatihan tersebut mereka diharapkan bisa memanfaatkan ruang-ruang di desa ataupun lahan kosong yang masih belum dimanfaatkan dengan baik di berbagai wilayah Indonesia untuk dijadikan lahan pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan dan kesejahteraan bagi mereka.
Pada tahun 2019 dilansir dari okezone.com, pemerintah melalui program reforma agraria akan membagikan lahan menganggur di kawasan hutan seluas 978.108 hektare yang mengindikasikan bahwa terdapat potensi lahan pekerjaan di sana yang bisa mengurangi penduduk di permukiman kumuh daerah kota. Tersedianya lahan kosong tersebut menjadi potensi besar bagi penduduk di kota-kota besar untuk melakukan transmigrasi ataupun ruralisasi untuk mengurangi kepadatan penduduk di daerah kota dan untuk mengurangi permukiman kumuh di dalamnya. Pemanfaatan lahan kosong tersebut bisa dibuat lahan-lahan pertanian, perkebunan ataupun lahan pekerjaan lainnya yang dapat membantu perekonomian masyarakat. Sejalan dengan itu, Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan juga menyediakan lahan untuk dijadikan sebagai pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan terkhusus bagi para kaum milenial yang sudah enggan berprofesi sebagai petani. Dengan adanya desa tersebut diharapkan desa-desa lain dapat mengikuti sehingga dapat memberikan fasilitas kepada kaum muda maupun masyarakat umum untuk kembali mencintai profesi-profesi yang ada di desa terutama pertanian.
Maka dari itu pemerintah diharapkan dapat membuat program transmigrasi kembali ataupun ruralisasi untuk mengurangi daerah permukiman kumuh seperti di Jakarta. Berdasarkan data BPS di tahun 2019, kepadatan penduduk Jakarta telah mencapai 15.900 jiwa/km2. Lahan sempit Jakarta dengan penduduk yang sangat padat mengindikasikan bahwa banyak daerah kumuh di Jakarta. Selain itu pemerintah juga  diharapkan membuat program pelatihan pengetahuan serta keterampilan kerja secara serius, agar dengan program pelatihan atau pembekalan tersebut masyarakat terbuka pemikirannya untuk mau bekerja di desa ataupun lahan yang masih kosong karena mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak di sana apalagi mereka telah dibekali keterampilan dalam mengelola lahan ataupun membuat lahan pekerjaan baru yang tentunya akan menguntungkan mereka dari banyak sisi.
Referensi
Andika, Muhammad. 2012. Permukiman Kumuh di Perkotaan dan Permasalahannya. https://tambahrejo.wordpress.com/2012/09/06/permukiman-kumuh-di-perkotaan-dan-permasalahannya/Â (Diakses pada 20 Desember 2020)