Mohon tunggu...
Abduraafi Andrian
Abduraafi Andrian Mohon Tunggu... Administrasi - karena 140 karakter saja tidak cukup

suka baca apa saja, suka tulis suka-suka.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Auman Perasaan yang Tercurah dari "Lion"

2 Maret 2017   19:30 Diperbarui: 2 Maret 2017   20:59 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saroo | http://www.daily-journal.com

Apa yang akan Anda lakukan ketika tersesat di sebuah lingkungan yang sama sekali asing untuk Anda? Mungkin kini mudah untuk mencari tahu di mana Anda berada. Tinggal pakai gawai dan tentukan letak lokasi Anda pada peta virtual. Namun, bagaimana jika itu terjadi sekitar 30 tahun sebelum hari ini? Oh, agar lebih dramatis, bagaimana jika Anda tersesat saat usia Anda 5 tahun?

Beberapa waktu terakhir saya tidak begitu peduli dengan film. Bahkan saya tidak peduli dengan pagelaran akbar film tahunan Oscars yang notabene menjadi standar dari perkembangan film dunia. Saya yang biasa datang ke bioskop beberapa kali sebulan, bulan lalu hampir tidak sama sekali. Entahlah. Sampai pada dua hari lalu seorang rekan kerja mengajak saya tanpa rencana untuk menonton film selepas jam kantor. Saya mengiyakan dan pasrah dengan pilihan film yang dipilihnya. Saat itulah saya mendengar kata "Lion".

Pertama yang terlintas dalam pikiran adalah film animasi anak-anak seperti "The Jungle Book" atau "The Lion King". Setelah menelusurinya, ternyata saya salah kaprah. Apalagi setelah menontonnya. Saya sampai menangis beberapa kali. Bahkan akhirnya saya mengeluarkan tisu dari ransel (ya, saya selalu membawa tisu di ransel) dan mengusapkan mata yang basah. Rekan saya pun mengejek akan hal itu. Tapi, siapa peduli? Saya melihat lagi daftar nominasi Oscars tahun ini dan menemukan "Lion" berjejer di kategori Best Pictures dan beberapa kategori bergengsi lain. Sayangnya, film itu tidak menang.

Masa bodohlah. Siapa peduli penghargaan kalau Anda bisa menghargainya secara personal. Saya kemudian membayangkan diri saya menjadi Saroo (tokoh utama pada film ini). Bertanya-tanya bagaimana kalau saya mendapatkan nasib yang sama dengannya. Di awal, saya bertanya-tanya, apakah saya akan tetap berada di tempat penampungan anak-anak? Di akhir, saya bertanya-tanya, apakah saya bakal mencari lagi sosok yang hilang selama saya hidup? Potongan-potongan kehidupan yang sedang  saya pertanyakan menuju Quarter Life Crisis.

Saya ingin mengatakan bahwa melalui film ini saya bisa kembali merasa. Merasa bahwa saya (mungkin) dicintai. Merasa bahwa saya (mungkin) ditunggu-tunggu untuk hadir di kehidupan orang-orang yang mencintaiku. Saya masih ingat keluar studio dengan masih sesenggukkan. Tangis tertahan yang sangat ingin dikeluarkan namun sebenarnya tidak perlu karena, yah, itu hanya untuk di dalam saja. Saya bahkan menuliskan ini sembari menitikkan air mata.

Anda akan heran kenapa saya begitu banyak menangis. Yah, kenapa? Apakah laki-laki tak boleh menangis?

Sangkalan: Tulisan ini pertama kali dipos di akun Facebook saya dan ditulis di sini dengan beberapa perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun