Pada Kamis lalu, sepulang kantor, saya membuat janji bersama teman saya untuk bertemu di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, kami akan membicarakan progres optimasi pengunjung blog menggunakan Search Engine Optimization (SEO). Saya tidak akan berbicara mengenai SEO, tapi tentang pemikiran yang singgah saat menuju ke tempat saya dan teman saya bertemu, Kedai Tjikini.
Untuk menuju ke tempat tersebut, saya yang tidak punya kendaraan menggunakan transportasi kereta rel listrik dari stasiun terdekat dari kantor, Stasiun Palmerah. Turun di Stasiun Cikini, teman saya mewanti-wanti bahwa lokasi tempat kami bertemu itu lumayan jauh dari sana. Saya bilang padanya untuk tidak khawatir karena saya sudah terbiasa berjalan kaki. Saya tidak tahu persis seberapa jauh jarak kedua lokasi tersebut. Setelah dicek di peta virtual, jaraknya sekitar 1,3 kilometer atau sekitar 17 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Malam itu, saya melewati jalanan yang ramai dengan mobil dan sepeda motor juga sesekali bajaj dan sepeda. Saya yang jalan melawan arah berpikir bahwa mungkin akan cepat sampai bila menyewa ojek pangkalan atau bajaj yang berjejer menanti penumpang di sekitaran Stasiun Cikini. Tapi, saya akan keluar uang beberapa peser untuk membayarnya. Bukannya saya pelit atau ingin berlama-lama dengan waktu, tapi proses berjalan kaki itu sendirilah yang membuat saya ketagihan.
Setengah jalan, saya melewati pelataran Taman Ismail Marzuki yang ramai oleh orang-orang yang nongkrong dan pedagang kaki lima yang berbaris rapi di sekelilingnya. Kelelahan dan mendapati bahwa teman saya yang sudah tiba lebih dulu karena menggunakan sepeda motor, pemikiran ekstrem saya muncul: coba saya punya sepeda motor seperti dirinya. Pasti saya tidak perlu berpeluh-peluh untuk pergi-pergi dan semuanya akan jauh lebih mudah. Pemikiran yang mengejawantahkan ke pemikiran berikutnya.
Saya sadar betul saya hanya berkeluh-kesah pada momen itu karena sampai kapan pun saya tidak ingin memiliki sepeda motor. Saya bisa mengendarai sepeda motor. Saya juga pernah menggunakan sepeda motor. Setelah mandiri, saya mengembalikan sepeda motor itu kepada orangtua dan berkomitmen untuk tidak memiliki kendaraan pribadi. Alasannya? Saya benci dengan kendaraan pribadi yang malah membuat jalanan makin penuh dan berakhir dengan kemacetan. Hal ini membuat saya teringat pada cuitan Zen RS: Yang paling ironis dari wabah kemacetan adalah ia lahir dari peradaban yg terobsesi dengan kecepatan.
Bisa dikatakan pemikiran yang timbul itu adalah perasaan iri sesaat. Saya iri dengan kecepatan yang dihadirkan oleh teknologi yang tidak saya miliki.
Saya berpikir bila malam itu saya menggunakan sepeda motor. Berapa banyak uang yang akan saya keluarkan? Untuk beli bensin. Untuk jaga-jaga apabila sepeda motor mati mendadak. Mungkin malam itu saya harus ganti oli atau busi. Atau yang paling parah rantai sepeda motor copot atau karburatornya benar-benar harus diganti. Kita semua harus mengantisipasi hal-hal buruk yang akan terjadi, kan?
Lalu, saya kembali pada momen itu. Saat di mana saya hanya mengeluarkan tiga ribu rupiah untuk bertemu teman saya. Memang lelah berjalan kaki, tapi saya hanya menghabiskan uang seharga dua gorengan di kantin belakang kantor.
Melupakannya, saya mulai menikmati saat-saat berjalan kaki. Melihat orang-orang menghamburkan uang melalui kendaraan-kendaraan yang mereka kendarai. Menghidu aroma menggiurkan yang dihadirkan pedagang makanan kaki lima di sepanjang Jalan Cikini Raya. Merasakan lembapnya sisa-sisa panas kota Jakarta. Bisa dibilang, malam itu saya hanya memberikan sedikit. Tetapi, untungnya, saya mendapatkan hal yang lebih dari itu. Hingga saya tiba di Kedai Tjikini dan bersua dengan teman saya.
Yang utama, lihat apa yang kita berikan. Selanjutnya, lihat apa yang kita dapatkan. Di situlah hal-hal positif akan datang beriring; menggantikan iri dan mungkin segala hal negatif yang hadir tanpa tedeng aling-aling.
(Dan, satu lagi: Pindang Iga di Kedai Tjikini amat saya rekomendasikan!)