Apa pun yang terjadi, waktu terus berjalan. Nggak ada kesempatan buat me-reply waktu yang telah berlalu.
Maka, jangan main-main dengan waktu. Sedetik saja kita mempermainkannya, ia akan melibas kita. Menyesal pun nggak ada gunanya.
Oleh sebab itu, cara terbaik melewatinya adalah meminimalisasi aktivitas yang nggak bermanfaat dan nggak berdampak buat perbaikan diri kita.
Ketika akan mengerjakan sesuatu, hitunglah terlebih dahulu, ada manfaatnya atau tidak apabila dikerjakan. Sekiranya bermanfaat, lakukanlah. Sekiranya mudharat, tinggalkanlah.
Sederhana saja sebenarnya. Tapi, selalu saja dalam diri kita terjadi pertarungan antara sifat fujur dan takwa. Tarik menarik antara keduanya nggak bisa terhindarkan.
Maka, di situlah kita butuh ketangguhan iman sehingga takwalah yang keluar sebagai pemenangnya.
Kita selalu diingatkan tentang takwa ini. Sebab, takwa itulah bekal terbaik yang akan kita bawa kelak mengahadap Sang Khalik.
"Wa tazawwadū fa-inna khaira al-zādi al-taqwā, wattaqūni yā-ulil albāb."
"Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!" (QS. 2: 197).
Manusia dibekali dengan akal. Akal itulah yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Orang yang berakal cenderung melakukan hal-hal yang baik, positif, dan bermanfaat.