Bulan Ramadhan sejatinya merupakan momen untuk menahan diri, menekan hawa nafsu, dan beribadah dengan lebih khusyuk. Namun, ironisnya, justru pada bulan ini konsumsi meningkat drastis.
Nafsu makan yang ditekan sepanjang hari seakan meledak saat waktu berbuka tiba, membuat siapa pun yang berpuasa ingin menyantap berbagai hidangan dalam jumlah yang berlebihan. Anehnya, bukan hanya jumlah makanan yang meningkat, tetapi juga jumlah sampah yang dihasilkan.
Semua makanan yang dijual atau dikonsumsi hampir selalu dikemas dalam plastik, styrofoam, atau bahan sekali pakai lainnya. Jika ditelusuri lebih jauh, ada korelasi yang sangat jelas antara meningkatnya nafsu makan dengan meningkatnya volume sampah selama bulan Ramadhan.
Di banyak kota besar, volume sampah selama Ramadhan bisa naik hingga tiga puluh persen dibandingkan bulan biasa. Pasar-pasar takjil yang dipenuhi oleh pembeli menghasilkan ton-ton sampah plastik hanya dalam hitungan jam.
Mulai dari kemasan gorengan, gelas plastik untuk es teh manis, hingga bungkus nasi atau lauk pauk, semuanya berakhir di tempat sampah dalam waktu yang sangat singkat setelah berbuka.
Jika dahulu berbuka puasa identik dengan menyajikan makanan di atas piring dan mangkuk yang bisa dicuci ulang, kini tren telah berubah menjadi budaya instan, di mana orang lebih memilih kemasan sekali pakai demi alasan praktis. Piring dan gelas tidak lagi dicuci, tetapi langsung diganti dengan styrofoam atau kotak makan plastik yang setelah dipakai hanya tinggal dibuang.
Persoalan tidak berhenti di situ. Industri plastik dan kemasan makanan semakin inovatif dalam menyediakan berbagai jenis wadah yang lebih menarik, lebih estetik, dan lebih praktis.
Berbagai model kotak makanan muncul dengan desain yang semakin variatif, menggoda masyarakat untuk menggunakannya tanpa berpikir panjang tentang dampak lingkungannya.
Di sisi lain, para pedagang makanan juga berlomba-lomba menggunakan kemasan yang lebih menarik agar dagangannya laku. Situasi ini menjadikan masyarakat semakin terbiasa dengan gaya hidup konsumtif dan boros, tanpa memikirkan limbah yang dihasilkan.
Tragedi sampah mencapai puncaknya setelah Lebaran, ketika petugas kebersihan ikut menikmati cuti hari raya. Dua hari setelah Idul Fitri, tempat-tempat pembuangan sampah di perkotaan akan penuh sesak dengan tumpukan sampah yang mulai membusuk dan menimbulkan bau tak sedap. Sampah makanan yang tidak segera diangkut menimbulkan masalah baru, menciptakan lingkungan yang kumuh, penuh belatung, dan menjadi sarang penyakit.
Pemandangan ini berulang setiap tahun, seakan menjadi ritual pasca-Lebaran yang tidak bisa dihindari. Masyarakat hanya bisa menunggu hingga layanan kebersihan kembali berjalan normal, sementara timbunan sampah terus bertambah.