Menulis di Bulan Ramadhan -- Semangat atau Dilema?
Ramadhan selalu datang dengan nuansa yang berbeda. Ada yang semakin tekun beribadah, ada yang berlomba dalam kebaikan, dan ada pula yang tiba-tiba lebih banyak diam, entah karena refleksi diri atau sekadar takut salah bicara. Namun bagi seorang penulis, Ramadhan adalah ujian tersendiri. Apakah tetap menulis dengan semangat yang sama? Apakah kritik sosial masih boleh dilontarkan di bulan yang katanya penuh ampunan?
Sebagai seorang yang terbiasa menulis satir, saya tahu betul bahwa bulan ini punya tantangannya sendiri. Biasanya, saya bisa dengan lincah menguliti absurditas politik, membongkar borok para pejabat, atau sekadar menyentil fenomena sosial yang kerap tertutupi euforia. Tapi di bulan Ramadhan? Wah, tiba-tiba banyak suara yang mengatakan, "Udah, bulan puasa nih, mending nulis yang adem-adem aja."
Saya jadi teringat teman saya, seorang jurnalis senior, yang di awal Ramadhan mengunggah tulisan tentang seorang pejabat yang sibuk membagikan sembako sambil senyum lebar ke kamera. "Bukankah ini bagian dari pencitraan?" tanyanya dalam tulisannya. Sontak, ada yang membalas dengan nyinyir, "Kasihlah dia kesempatan berbuat baik, ini bulan suci."
Kalau begitu, apakah Ramadhan adalah bulan di mana kita harus menutup mata terhadap kenyataan?
Satir, Dosa atau Pahala?
Setiap kali saya menulis satir, selalu ada yang bertanya, "Kamu nggak takut dosa?" Seolah-olah menulis dengan nada menggelitik tapi menyindir adalah perbuatan yang bisa membatalkan pahala puasa.
Tapi bukankah Innamal a'malu bin niyyat---segala sesuatu tergantung dari niatnya? Jika niat saya menulis adalah untuk mengingatkan, bukan menjatuhkan, apakah itu masih disebut dosa? Kalau seorang koruptor yang kedapatan membangun masjid dari uang hasil mencuri uang rakyat, lalu saya menulis tentang ironi itu, apakah saya ghibah atau justru sedang beramar ma'ruf nahi munkar?
Saya selalu ingat kisah seorang ulama besar yang ditanya tentang mengkritik penguasa. Dia menjawab, "Kalau dengan kritik kita bisa mencegah kebatilan, mengapa tidak?" Artinya, kritik itu bukan soal merendahkan seseorang, tetapi soal memberi peringatan agar tidak ada yang semakin terlena dalam kesalahan.
Kalau satir bisa menyadarkan, mungkin menulis sindiran di bulan Ramadhan justru berpahala.
Kritis Itu Wajib, Agar Ada Kontrol Sosial