Belakangan ini, muncul tren pejabat naik transportasi umum sebagai simbol kedekatan dengan rakyat. Beberapa pihak menganggap ini sebagai langkah baik, sementara yang lain melihatnya sebagai gimik politik yang tidak ada hubungannya dengan kinerja.
Padahal, rakyat tidak butuh pejabat yang sekadar terlihat sederhana dan "ikut merasakan" kesulitan mereka. Yang dibutuhkan adalah pejabat yang bisa membuat kebijakan nyata untuk memperbaiki ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya. Kalau hanya naik KRL atau TransJakarta untuk pencitraan, tapi kebijakannya tidak berkontribusi apa-apa, ya sama saja seperti aktor sedang syuting adegan drama.
Kinerja Lebih Utama daripada Sekadar Simbolisme
Seorang pejabat tidak dinilai dari kendaraan yang mereka gunakan, tetapi dari seberapa efektif kebijakan dan program yang mereka hasilkan. Jika kebijakan hanya berisi wacana, tidak ada perbaikan dalam sistem, dan anggaran habis untuk kegiatan seremonial tanpa dampak nyata, maka sebaiknya berhenti bermain drama "merakyat".
Contoh nyata, seorang pejabat bisa saja naik KRL setiap hari, tetapi jika regulasi yang ia buat tidak berdampak bagi kesejahteraan rakyat, ya percuma. Lebih baik mereka bekerja keras di balik layar, meskipun tidak terlihat "sederhana", tetapi kebijakan dan keputusannya membawa perubahan besar bagi masyarakat.
Daripada sibuk menyusun strategi pencitraan, lebih baik fokus menciptakan solusi nyata. Toh, rakyat tidak akan bertanya, "Menteri ini naik mobil dinas atau tidak?" tetapi akan bertanya, "Apa kebijakan yang sudah dia buat untuk memperbaiki kehidupan kami?"
Kabinet Gemuk, Â Ramai-Ramai Membangun... Imej!
Kalau ditanya apa yang sedang giat dikerjakan oleh para menteri saat ini, jawabannya cukup jelas: mereka sedang sibuk membangun... IMEJ! Ya, bukan membangun ekonomi, bukan membangun industri, bukan membangun inovasi, tapi membangun kesan bahwa mereka punya program kerja!
Kita punya kabinet yang jumlahnya banyak, tapi sayangnya, gebrakan yang benar-benar baru dan berdampak masih minim. Banyak program hanya daur ulang dari menteri sebelumnya, seperti baju bekas yang diganti kancingnya agar terlihat baru. Padahal, isinya tetap sama, bahkan ada yang lebih usang.
Banyak kementerian justru lebih sibuk membuat slogan, merancang logo baru, atau memperbanyak dokumentasi foto dan video kegiatan---seolah itu adalah indikator keberhasilan. Kalau dihitung, mungkin jumlah kunjungan kerja dan konferensi pers mereka lebih banyak daripada jumlah kebijakan inovatif yang dihasilkan.