pulau-pulauSambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia.
Indonesia tanah airku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku
Tanah airku Indonesia."
(Ciptaan Raden Soerarjo)
Lagu wajib ini selalu menjadi pengingat betapa luas dan kayanya negeri ini. Pulau-pulau kecil berjajar, menyatu dalam keindahan geografis yang tak tertandingi. Namun, di tengah syair penuh kebanggaan itu, kita dihadapkan pada realitas pahit: 200 pulau kecil terindikasi telah berpindah tangan, tak lagi menjadi bagian utuh dari kedaulatan negeri.
Ketika Sambung Menyambung Menjadi Sertifikat
Barangkali lirik lagu itu kini menjadi inspirasi lain bagi sebagian pejabat dan pihak-pihak berkepentingan. Mereka tidak lagi menyambung pulau-pulau ini dengan semangat keutuhan bangsa, melainkan dengan sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan (HGB). Pulau-pulau yang seharusnya menjadi milik bersama kini diikat oleh dokumen-dokumen hukum, disahkan di atas meja birokrasi, lalu dijadikan aset pribadi.
Pagar bambu yang berdiri kokoh menjadi simbol kepemilikan baru. Pagar ini tidak hanya membatasi fisik, tetapi juga menjadi deklarasi bahwa ruang publik kini beralih menjadi ruang eksklusif, tertutup bagi masyarakat lokal. Apa yang terjadi dengan nelayan yang kehilangan tempat menambatkan perahunya? Bagaimana nasib masyarakat pesisir yang kehidupannya bergantung pada laut?
Pagar Bambu, Simbol Kedaulatan yang Dirampas
Pagar ini berdiri, seolah menertawakan siapa saja yang mencoba mendekat. Pulau-pulau kecil yang dulu berjajar menjadi kebanggaan kini berubah menjadi komoditas. Tidak lagi "sambung menyambung menjadi satu," tetapi "sambung menyambung menjadi sertifikat." Dengan legalitas yang diragukan, siapa yang memastikan bahwa proses ini benar-benar transparan dan tidak melanggar hukum?
Pejabat Saling Mengingkari
Ketika kasus ini mencuat, para pejabat justru saling mengingkari. "Bukan kami yang menerbitkan sertifikat itu," kata seorang pejabat. "Itu kebijakan sebelumnya," ujar yang lain. Drama saling lempar tanggung jawab ini terus dimainkan sementara 200 pulau kecil terus berubah fungsi menjadi properti pribadi. Ironisnya, sertifikat ini sering kali muncul dengan dalih legalitas yang sah.
BRIN mengungkapkan, lebih dari 200 pulau kecil di Indonesia telah diprivatisasi dan diperjualbelikan ke berbagai pihak. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, yang menjelaskan bahwa hingga tahun 2023, pulau-pulau kecil Indonesia paling banyak terjual di DKI Jakarta dan Maluku Utara. "Lebih dari 200 pulau-pulau kecil, terbanyak di DKI Jakarta dan Maluku Utara," ungkap Athiqah dalam keterangan persnya pada 16 Juli 2024.