Di ruang kerjanya yang megah di Istana Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka menatap layar laptop dengan tatapan serius. Tumpukan dokumen, laporan, dan jadwal rapat membanjiri mejanya.
Ia baru saja menyelesaikan pertemuan dengan tim ahli kebijakan, membahas solusi untuk mempercepat digitalisasi layanan publik di tingkat daerah. Di sela-sela jadwal padatnya, ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari salah satu kepala daerah yang membutuhkan pendampingan dalam mengelola krisis pasokan pangan.
Sebagai Wakil Presiden termuda dalam sejarah Indonesia, Gibran sibuk, tetapi ia tahu kesibukan ini adalah pilihannya.
Pagi itu tidak berbeda dari hari-hari lainnya. Sejak dilantik beberapa bulan lalu, Gibran menjalani tugasnya dengan intensitas tinggi. Setiap langkahnya diikuti oleh sorotan tajam, kritik pedas, dan ekspektasi besar. Sebagai anak Presiden Joko Widodo, bayangan dinasti politik masih menjadi tema yang terus dibicarakan.
Tak sedikit yang meremehkan posisinya, menyebutnya hanya sebagai kelanjutan dari "politik keluarga." Namun, bagi Gibran, jabatan ini bukan tentang warisan, melainkan tentang kerja nyata.
Tetapi benarkah dinasti politik hanya masalah Gibran?
Sejarah politik Indonesia telah lama dikelilingi oleh keluarga-keluarga besar yang mewariskan pengaruh mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lihatlah keluarga Soekarno, di mana Megawati Soekarnoputri meneruskan jejak ayahnya, tidak hanya sebagai pemimpin PDI Perjuangan tetapi juga sebagai Presiden RI.
 Kini, cucu Soekarno, Puan Maharani, menjadi salah satu tokoh terkemuka di panggung politik nasional. Di sisi lain, keluarga Yudhoyono juga tak lepas dari narasi ini. Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden RI, telah menempatkan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai pemimpin Partai Demokrat.
Namun, tak semua nama besar berhasil meraih dukungan rakyat. Banyak tokoh dari keluarga besar politik yang gagal meyakinkan publik, meski membawa nama besar yang seharusnya menjadi modal politik. Publik Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, tetap memilih berdasarkan kombinasi antara kepercayaan, harapan, dan, tentu saja, kinerja nyata.
Gibran menyadari hal ini. Bayang-bayang dinasti adalah sesuatu yang tak bisa ia hindari. Ia tidak pernah meminta dilahirkan sebagai anak Jokowi, tetapi ia sadar bahwa nama belakangnya membawa keunggulan sekaligus beban.
Setiap langkahnya diawasi, setiap kebijakannya dikritisi. Ketika ia mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, banyak yang mencibir bahwa kemenangannya telah ditentukan sebelumnya. Namun, Gibran memilih untuk diam dan bekerja.