Ia membawa digitalisasi ke dalam pelayanan publik Solo, sebuah langkah yang sederhana tetapi berdampak besar bagi warganya. Ia mendukung UMKM dengan kebijakan-kebijakan yang mempermudah mereka untuk bertumbuh.
 Ia berbicara dengan rakyatnya tanpa basa-basi, menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pemimpin simbolis, tetapi seseorang yang benar-benar ingin mendengar dan memahami.
Namun, badai kritik kembali datang ketika ia melangkah ke panggung nasional. Sebagai calon Wakil Presiden termuda dalam sejarah Indonesia, ia menghadapi gelombang skeptisisme yang lebih besar.
Banyak yang mengatakan, "Ini hanya Jokowi yang membangun dinasti politiknya." Tetapi kritik itu, meski keras, tak mampu menyembunyikan satu fakta penting: nama besar saja tidak cukup untuk memenangkan hati rakyat.
Gibran tahu, sejarah penuh dengan contoh di mana dinasti politik tidak berarti kemenangan. Nama besar Soekarno tidak selalu membawa keberuntungan bagi keturunannya, begitu pula dengan keluarga Yudhoyono. Publik Indonesia memilih dengan hati-hati, dan sering kali, nama besar tidak cukup untuk meraih simpati mereka.
Lebih dari itu, ada pula politisi yang mencoba membangun dinasti mereka sendiri, tetapi gagal total. Tokoh seperti Amien Rais, yang mendirikan Partai Ummat, berjuang keras untuk membawa partainya ke puncak, tetapi gagal mendapatkan kepercayaan publik secara luas.
Hary Tanoesoedibjo, dengan Partai Perindo, juga mengalami nasib serupa. Meskipun ia menginvestasikan sumber daya besar-besaran untuk partainya, hasilnya tidak signifikan dalam politik nasional. Surya Paloh, meski sukses dengan Partai NasDem, juga tidak berhasil mendorong figur-figur keluarga untuk tampil sebagai penerusnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dinasti politik tidak otomatis berarti sukses. Nama besar dan sumber daya saja tidak cukup untuk memenangkan hati rakyat Indonesia. Publik tetap memilih berdasarkan rekam jejak, visi, dan keberpihakan pemimpin terhadap kepentingan rakyat.
Hari itu, ketika Gibran kembali ke Istana Wakil Presiden setelah menghadiri kunjungan lapangan ke program pemberdayaan UMKM, ia merasa lega. Di lokasi kunjungan, ia mendengar langsung keluhan dan harapan rakyat, berbicara dengan para pelaku usaha kecil yang berjuang bertahan di tengah tantangan ekonomi. Setiap pertemuan seperti itu memberinya energi baru untuk terus bekerja.
Ia sadar bahwa tugasnya bukan hanya menjalankan jabatan, tetapi juga menunjukkan kepada rakyat bahwa ia bukan sekadar penerus nama besar. Ia harus membuktikan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang bekerja untuk rakyat, mendengarkan suara mereka, dan membawa perubahan nyata.
Malam itu, saat menutup harinya, Gibran menuliskan sesuatu di jurnal pribadinya: "Nama besar adalah bayangan yang tak terhindarkan. Tapi bayangan tidak bisa menutupi cahaya kerja keras. Dan hanya kerja keras yang bisa memenangkan hati rakyat."