Sebagai seorang ayah, saya percaya bahwa setiap anak membawa keajaiban, tetapi perjalanan menuju keajaiban itu sering kali terasa seperti mendaki gunung tanpa sepatu. Tahun pertama pernikahan saya adalah campuran antara kebahagiaan dan kebingungan.
Anak pertama kami lahir, dan seperti kebanyakan orang tua baru, kami ingin memberikan yang terbaik. Mulai dari popok premium, susu formula termahal, hingga stroller yang katanya "anti gravitasi"---semua dibeli demi si kecil. Masalahnya, kantong kami tidak premium, apalagi anti gravitasi.
Saat itu, cicilan rumah  belum selesai, tapi saya harus rela menggadaikan BPKB untuk menutupi biaya operasi caesar istri saya. Kami awalnya berharap melahirkan normal, tapi dokter berkata lain. Saat itu, rasanya seperti dunia memberi tantangan tambahan di tengah kebahagiaan kami.
Namun, entah dari mana, rezeki selalu datang. Ada bonus tak terduga dari kantor, bantuan keluarga, hingga promosi diskon susu bayi yang membuat saya percaya bahwa Tuhan punya cara humoris untuk membantu kami.
Setelah badai kecil itu berlalu, saya merasa hidup mulai stabil. Tapi seperti yang sering terjadi, saat Anda berpikir bisa bernapas lega, kehidupan datang lagi membawa tantangan berikutnya. Ketika anak pertama baru berusia 1,5 tahun, istri saya memberi kabar bahwa kami akan punya anak kedua. Saya tersenyum, tapi di dalam hati ada dialog singkat: "Serius nih, Tuhan? Baru juga beres cicilan susu anak pertama,.. anak kedua pun lahir.
Anak kedua lahir, lagi-lagi melalui operasi caesar. Kali ini, saya merasa lebih siap, meskipun dompet saya jelas-jelas tidak. Tapi seperti sebelumnya, keajaiban selalu datang. Anak kedua membawa kebahagiaan baru di rumah kami. Dua balita berlarian, mengisi rumah dengan suara tawa dan sesekali tangisan.
Saya pun jadi bapak multitasking---bisa mengganti popok sambil telepon kerjaan, dan tahu perbedaan jenis susu lebih baik daripada daftar menu restoran favorit saya dulu.
Setiap imunisasi, periksa ke dokter, atau bahkan sekadar membeli mainan baru, saya selalu menemani istri. Saya percaya bahwa kebersamaan adalah bentuk cinta paling sederhana tetapi paling penting. Di balik kesibukan bekerja di Jakarta, berangkat pagi dan pulang malam, momen-momen kecil seperti ini menjadi energi bagi kami berdua untuk terus bertahan.
Namun, menjadi orang tua bekerja di ibu kota tidak pernah mudah. Ada drama suster yang tidak sesuai harapan, dari yang malas hingga yang terlalu galak, membuat kami harus sering mencari pengganti. Istri saya juga harus menyempatkan waktu di kantor untuk menyedot ASI, sementara saya sibuk menghitung anggaran yang rasanya selalu "lari lebih cepat daripada gaji masuk."
Ketika anak ketiga lahir, dan kemudian anak keempat, saya mulai memahami arti sebenarnya dari ungkapan "banyak anak, banyak rezeki." Rezeki itu bukan hanya uang, tetapi juga kebahagiaan, cinta, dan kekuatan untuk menghadapi tantangan. Tapi keajaiban terbesar datang ketika dokter berkata setelah kelahiran anak keempat: "Pak, secara medis istri tidak bisa melahirkan lagi. Ini sudah sangat berisiko."
Saya terdiam. Ada rasa lega, tetapi juga rasa kehilangan. Keinginan kami untuk memiliki banyak anak begitu besar, tapi saya tahu bahwa ini adalah batas yang harus diterima. Tuhan telah memberi kami empat anak yang luar biasa. Setiap mereka adalah anugerah yang tak ternilai.