opini imajiner ini adalah seorang presiden---bukan presiden negara, Â tetapi presiden direktur sebuah perusahaan yang terus bertumbuh. Sebagai seseorang yang membangun usaha dari nol hingga mampu membiayai pendidikan anak-anak ke luar negeri, saya memahami perjuangan, tanggung jawab, dan arti penting dari pengorbanan.
Pengantar Penulis, Perkenalkan, penulisSaya seorang ayah dari tiga putra dan satu putri. Dua di antaranya saat ini sedang menempuh pendidikan di luar negeri---satu mengambil program master di Manchester University, Inggris, sementara yang lain sedang menyelesaikan program Bachelor Degree  di California, Amerika Serikat . Semua ini adalah hasil dari jerih payah sendiri, tanpa bantuan atau cawe-cawe dari negara.
Sebagai orang tua, saya dan istri tidak pernah absen dalam kehidupan mereka, meskipun jarak memisahkan. Kadang-kadang, kami berbincang ringan tentang resep soto Solo  yang berbeda dengan Soto Surabaya atau Lamongan. Kadang kami tertawa mendengar cerita mereka tentang dosen-dosen di luar negeri yang dipanggil hanya dengan nama, tanpa gelar Pak atau Bu sebagai bentuk keakraban dalam diskusi dan perdebatan, Namun, di banyak kesempatan, diskusi kami lebih serius, menyentuh tentang harapan mereka, mimpi besar mereka, dan bagaimana mereka menghadapi tantangan.
Berangkat dari pengalaman ini, saya merasa ada sedikit kemiripan dalam posisi saya sebagai orang tua dan Gibran sebagai seorang pemimpin muda. Sebagai "ayah imajiner," saya membayangkan duduk berhadapan dengan Gibran, memberikan nasehat dengan penuh cinta, harapan besar, tetapi juga kritik yang jujur.
Namun, sebelum imajinasi saya melangkah lebih jauh, saya ingin membatasi makna cawe-cawe ini sebagai hal yang positif---bentuk kepedulian dan keterlibatan yang penuh makna.
Dalam budaya Jawa, cawe-cawe mencerminkan hubungan yang hangat, dukungan tulus, dan dorongan yang membangun. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, cawe-cawe adalah simbol perhatian dan penghormatan. Antara orang tua dan anak, cawe-cawe adalah hal yang lumrah selama privasi tetap dihormati. Bahkan ketika anak sudah dewasa dan mandiri, cawe-cawe masih diperlukan untuk menunjukkan kasih sayang dan kepedulian.
Narasi Imajiner Percakapan dengan Gibran
Malam itu, dalam imajinasi saya, kami duduk bersama di sebuah ruangan kecil yang sederhana namun hangat. Di antara kami ada dua cangkir kopi---kopi hitam tanpa gula untukku, Â 1 cangkir lagi memakai gula, minuman sederhana yang sering menjadi teman diskusi serius. Saya melihat wajah Gibran, seorang pemuda yang memikul tanggung jawab besar sebagai Wakil Presiden termuda Indonesia.
"Mas Gibran," saya memulai dengan nada pelan namun penuh arti, "Anda sudah melewati badai besar dalam perjalanan Anda ke titik ini. Saya melihat betapa kuatnya Anda menghadapi semua itu---dari serangan soal pelanggaran konstitusi, bantuan dari paman, tuduhan tentang mahkamah keluarga, hingga kemampuan Anda yang diragukan. Bahkan, ijazah Anda sempat dipertanyakan, belum lagi polemik soal akun fufufafa. Tapi, Anda melewatinya dengan tenang, seperti kapal kokoh yang diterjang ombak. Itu, Mas, adalah pencapaian yang luar biasa."
Saya berhenti sejenak, memberikan ruang bagi Gibran untuk merenungkan kata-kata saya. Dalam imajinasi ini, ia menatap saya dengan serius, penuh perhatian.
"Tetapi, Mas," saya melanjutkan, "badai itu sudah berlalu. Sekarang saatnya Anda meraih pelangi---simpati dan kepercayaan rakyat. Dan, jujur saja, saya merasa langkah awal Anda belum cukup untuk mencapai itu. Program seperti Lapor Mas Wapres dan Susu Mas Wapres mungkin terlihat baik di permukaan, tetapi terlalu dangkal untuk menjawab harapan besar rakyat."