film Sang Martir karya Helfi Kardit menjadi medium yang menggugah hati dan pikiran. Lebih dari sekadar tontonan, film ini adalah ajakan untuk merenungkan arti sejati toleransi di tengah masyarakat yang beragam.
Dalam rangka Hari Toleransi Internasional,Helfi, sebagai seorang Muslim, menggambarkan perjuangan membangun toleransi lintas agama melalui kisah yang mendalam dan menyayat hati. "Kita hidup di era yang damai. Tidak ada alasan untuk melanjutkan warisan konflik dari masa lalu," katanya. Dengan pendekatan yang humanis, Sang Martir menghadirkan narasi cinta, keimanan, dan perjuangan untuk menemukan harmoni di tengah perbedaan.
Ketegangan Rangga dan Pendeta Yosef
Di balik jeruji besi, kebencian dan amarah memenuhi hati Rangga. Ketidakadilan yang ia alami, tragedi di panti asuhan, dan hilangnya masa depan anak-anak membuatnya terjebak dalam kebingungan moral.
Dalam momen penuh emosi, Rangga, yang diliputi amarah dan kebencian, mencoba melampiaskan rasa frustrasinya dengan memukul Pendeta Yosef sambil meneriakkan "Allahu Akbar." Namun, pukulan itu tidak menggoyahkan Yosef. Ia berdiri teguh, menahan pukulan Rangga dengan kedua tangannya, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan ketenangan dan keikhlasan.
Dengan suara yang penuh keteduhan, Yosef berkata, "Nak, kata-kata itu bukan untuk melukai. Kata itu adalah pujian kepada Tuhan, dan hanya layak diucapkan dengan hati yang ikhlas."
Rangga, yang terengah-engah oleh emosinya sendiri, berhenti. Ia menyadari bahwa amarahnya tidak membawanya ke mana-mana. "Aku tidak melawan Tuhan," katanya pelan. "Aku hanya mencoba bertahan."
Pendeta Yosef mendekatinya, menatap mata Rangga dengan pandangan penuh kasih. "Bertahanlah, Nak, tapi bukan dengan kebencian. Bertahanlah dengan cinta. Karena hanya cinta yang bisa menyembuhkan luka sebesar apa pun."
Adegan ini menggambarkan keseimbangan emosional antara kemarahan Rangga yang penuh gejolak dan ketenangan Yosef yang penuh pengertian. Kamera menangkap intensitas ini dalam medium shot, menggambarkan pergulatan emosi yang melampaui sekadar perbedaan agama.
Pendeta Yosef, yang merasa bersalah atas perpecahan agama di masa lalu, membuka hatinya kepada Rangga. Ia mengungkapkan penyesalan atas pilihannya yang keliru, di mana ia berpikir bahwa konflik bisa menyelesaikan perbedaan.
Rangga mendengarkan dalam diam. Di benaknya, tragedi di panti asuhan dan perasaan gagal untuk melindungi anak-anak menghantui. Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Apa aku bisa dimaafkan? Apa aku masih pantas berharap pada Tuhan?"