Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis buku
Pernah ada temuan, dari 100 mahasiswa, empat diantaranya jadi pecandu, sehingga benar-benar memilukan, pasalnya sebagai komunitas elit perubahan sejarah Indonesia, dirinya sedang mengidap penyakit berat yang membutuhkan perubahan radikal. Tanpa revolusi diri, jangan diharapkan label sebagai agen perubahan sosial masih layak melekat pada dirinya
Kalangan pembelajar paham, narkoba adalah "mesin" pembunuh yang jelas-jelas mematikan. Zat adiktif ini hanya bisa digunakan ketika kebutuhan medis atau pengobatan, seperti digunakan untuk membius pasien yang akan menjalankan operasi. Penggunaannya pun harus ada standar atau dosis yang tepat supaya tidak berefek mematikan. Sayangnya, oleh mahasiswa, zat ini digunakan untuk membius dirinya sendiri, sehingga ke depan generasi ini akan kesulitan melepaskan diri dari kolonialisasi yang diproduknya sendiri.
Mereka itu sedang terbius kesadarannya, sehingga menjerumuskan dirinya dalam kultur gaya hidup yang sesat dan jahat. Mereka lebih menjatuhkan pilihan di jalan hidup kriminalistik atau  pola pemberhalaan gaya hidup yang merangsang terpenuhinya kesenangan sesaat. Keterjerumusan ini mengindikasikan kalau mereka sedang takluk di bawah hegemoni perubahan gaya hidup yang membuainya.
Pemberhalaan gaya hidup yang dilakukannya ini tidak terpisahkan dari kecenderungan menguatnya fenomena coba-coba atau eksperimen yang dtawarkan dan dipenetrasikan oleh masing-masing subjek sosial. Ketika seorang mahasiswa  masuk dalam jaringan kelompok yang terbiasa membuka kran kebebasan dan terbentuknya pola belerasi berbingkai patologi sosial, maka yang lain yang masuk dalam jaringannya, akan sulit mengelak untuk tidak mengikuti pola eksperimen, seperti mencoba rasanya narkoba.
Narkoba digunakan membius kesadaran, kecerdasan, dan kebeningan nuraninya sendiri. Ketika dirinya sudah terjerumus menjadi pecandu, apalagi sampai jadi distributor misalnya, sulit diharapkan dalam dirinya tetap bertahan kecerdasan bernalar dan kebeningan nurani. Â Hal ini tentu saja menyulitkan posisinya sebagai agen perubahan, pasalnya dengan posisi sedang terbius berat ini rasanya mustahil dirinya masih punya kepekaan kebangsaan untuk membaca dan memperjuangkan problem reformasi.Â
Bagaimana mungkin mahasiswa bisa menjadi pejuang lagi di garis depan reformasi kalau mereformasi dirinya sendiri saja gagal? Bagaimana mungkin bisa diharapkan bisa jadi pelaku sejarah setrategis kalau apa yang diperbuatnya telah menjadikannya sebagai mayat-mayat hidup?
Mahasiswa tidak mungkin tidak mengetahui efek mematikan dari narkoba, karena dirinya  sudah mendapatkan pelajaran tentang macam-macam zat yang bermanfaat maupun membahayakan dirinya. Kalau sampai dirinya terjerumus atau menjerumuskan dirinya jadi pecandu maupun distributor, maka apa yang dilakukannya ini sama artinya dengan "harakiri".
Seseorang yang sudah tahu kalau jenis perbuatan yang akan dilakukannya itu berefek membahayakan dan mematikan, tetapi tetap saja ia menjatuhkan opsi dengan perbuatan itu, tentulah seseorang yang demikian ini tidak lagi menghormati dan memanusiakan dirinya sendiri. Ia tidak mensyukuri karunia Tuhan yang telah memberikannya hak hidup dan mengembangkan diri.Â
Dalam Deklarasi HAM Universal atau UDHR Â (Universal Declaration of Human Right) juga dijelaskan, bahwa setiap orang punya hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan bebas dari perbudakan. Dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga disebutkan Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.