Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku
Reformis India, Mahatma Ghandi pernah berujar "bumi ini cukup berlebihan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi menjadi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan hidup  manusia"
Suatu pesan moral yang cukup ideal, yang mengingatkan konstruksi ekologis antara manusia dengan bumi. Bumi telah memberikan tempat terbaik bagi manusia, menjadi penopang kebutuhan jangka pendeknya, dan investasi bagi masa depan kehidupannya.Â
Secara ekonomi misalnya, manusia telah merasakan bagaimana dapat mengambil keuntungan dan jadi segmen sosial yang memenuhi strata ellitisme. Bumi telah mengantarkan seseorang dan sekelompok manusia jadi komunitas yang hidup dalam bingkai serba cukup
Itu artinya, tanpa bumi, manusia tak akan bisa menuai dan menikmati kesejahteraan. Manusia tak akan memperoleh strata yang diambisikan. Apa yang diberikan bumi telah mengantarkan manusia jadi arsitek berperadaban harum, hidup dalam bangunan relasi  sosial-politik yang santun, saling kooperatif, dan menguatkan persaudaraan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
Kondisi kehidupan bangsa sudah jelas sekali ditentukan oleh besar kecilnya sumber yang mengalir atau dialirkan dari bumi. Bumi yang subur tentulah bisa memberikan kekayaan besar bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, tatkala bumi itu tidak lagi ramah, mengidap kekeringan, jauh dari kesuburan, maka yang diperoleh manusia pun niscaya tidak banyak.
Logikanya, tatkala bumi bisa mengalirkan kekayaan alamnya secara deras, maka bangsa yang dibingkai oleh embrio bumi demikian niscaya akan jadi bangsa primadona. Sebut misalnya, negara-negara Timer Tengah selalu menjadi incaran dan dikorbankan oleh sindikat-sindikat global yang bermain dalam politik eufimistik, yang faktanya  mereka tak lebih dari "state terrorism" adalah negara-negara  primadona yang diberi amanat bumi berupa kekayaan alam yang melimpah berupa sumber minyak.
Negara-negara tersebut telah menunjukkan jati diri "kekuasaan Tuhan", kalau bumi merupakan anugerah manusia dan bangsa yang tiada tara. Kekayaan yang mengalir darinya telah mengangkat derajat bangsa Arab sebagai "bangsa majikan", sementara bangsa-bangsa (negara-negara) lain yang terpikat, tergoda, dan jadi "neo-kolonialis" berusaha menguasainya, mengeksploitasinya, dan bahkan menghancurkannya baik dengan cara memaksakan kekuatan politik untuk berkoalisi maupun menganeksasinya.
Sebagai pelajaran berharga: bumi Arab Saudi dan Irak misalnya adalah negara primadona yang memikat  negara-negara lain. Kasus terjadinya Perang Teluk episode II di Irak beberapa tahun lalu hingga "perebutan kursi atau suksesi paska Perang itu  salah satu akar persoalannya (dalam pandangan ahli)  terletak pada bumi Irak yang menjadi penghasil minyak terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Barangkali kalau bumi Irak tidak memiliki kekayaan alam yang demikian besar, kasus kejahatan perang tidak akan sampai terjadi.
Negara besar yang adidaya seperti AS, yang merupakan arsitek terwujudnya terorisme global atau terorisme negara ("state terrorism") hanya akan mewujudkan misi dan ambisinya untuk merecoki  kedaulatan bangsa lain karena sedikitnya lima alasan prinsipil, pertama, ideologi, kedua, agama, ketiga, politik, keempat, ekonomi, dan kelima  keadidayaan di bidang militer. Lima kepentingan ini lebih sering mengerucut pada ambisi menguasai pasar dunia, khususnya bumi yang menjanjikan kekayaan besar.
Kita selama ini sudah mengalkulasi misalnya dari sudut kepentingan ekonomi, Â bumi di negara-negara Timteng telah merangsang atau membangkitkan birahi ambisi AS. Untuk memenuhi ambisi ini, AS terus menggeliatkan gerakan-gerakan politik globalnya, termasuk menebar ancaman ke berbagai negara yang dimungkinkan menjadi penghambatnya. Iran merupakan salah satu negara yang berkali-kali dikasih "warning" agar tidak mencampuri gerak AS di Timteng.