Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konstruksi Lelaku

11 Juni 2021   06:16 Diperbarui: 11 Juni 2021   06:28 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: foto penulis

Abdul Wahid

Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Terorisme

Lelaku, adalah kata kunci yang mengambarkan suatu aktifitas serius, mendalam, reflektif, dan menyatu dengan Tuhan, yang menurutnya dibenarkan oleh agama yang dipeluknya. Kalau tidak dibenarkan oleh agamanya, (barangkali) pikir "para pencari tuhan", tentulah dalam dirinya tidak akan menuai kedamaian atau ketenangan.  Ketenangan bisa diraih jika seseorang betul-betul berusaha mendekat atau mengakrabkan diri kepada Tuhannya.

Lelaku itu lazimnya seseorang yang mencoba melakukan aktifitas spiritualitas. Apa yang dilakukannya ini bisa berangkat dari interpretasi atau tafsir atas Kitab suci yang dinilai tidak menyalahkan atau memberinya "ruang" untuk berdialektika dengan Tuhannya. Dalam tataran ini, aktifitas spiritualitasnya dinilai hanya Tuhan yang mengetahui dan berhak memberikan restu, bukan oleh sesama manusia yang aktifitas spiritualitasnya sama-sama masih sedang menggunakan pembenaran melalui tafsir atau "madzhab" yang berembrio dari wahyuNya.

Memahami posisi seseorang, yang baru mengenal agama Islam, tentulah suatu kelaziman jika ada kekeliruan, keanehan, dan perbedaan dalam menangkap perintah wahyuNya. Kalau apa yang dilakukan oleh Roy ini tergesa-gesa divonis sebagai peramu dan pembenar ajaran sesat yang menodai Islam, maka kita layak dikategorikan sebagai komunitas yang berlebih-lebihan dalam beragama, terjebak dalam truth claims atau seolah-olah kebenaran itu hanya milik seseorang, golongan, atau "madzhab" tertentu.

 Kita pernah diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa "perbedaan itu rahmat", artinya setiap perbedaan dalam beragama atau  dalam menerjemahkan perintah wahyuNya wajib disikapi sebagai hak demokratisasi dalam beragama. Kalau seseorang yang baru belajar beragama, meyakini apa yang dipelajarinya, dan "bereksperimen" sambil mengikuti suara batinnya, sudah tergesa-gesa divonis bersalah sebagai "penoda agama" , maka agama ini akan menjadi eksklusif dan menutup ruang kreasi, interpretasi, perbedaan  pendapat, demokratisasi dan humanisasi.

Seseorang akhirnya takut menjadi pengembara atau pencari kepuasaan spiritualitas, dan merasa gamang untuk melakukan interpretasi wahyuNya, pasalnya ia akan dihadapkan dengan  kekuatan komunitas, yang merasa kekuatannya ini sudah "sangat" mapan dan tergaransi sikap, ucapan, dan perilaku agamanya dengan stigma "ahli surga" atau paling sejalan dengan wahyu.

Idealnya, bukan sikap itu yang seharusnya ditunjukkan kepada mereka yang sedang belajar agama, menjadi penafsir wahyuNya, dan jadi pemburu kepuasan spiritualitas.  Barangkali cara dialog, tidak menghakimi, dan memberinya waktu untuk "menikmati" keyakinannya dapat menjadi cara demokratis, humanistis, dan edukatif guna memposisikan masing-masing diri sebagai subyek beragama.

Bukan tidak mungkin sekarang ini misalnya, banyak anggota masyarakat  kita yang mencoba memburu ketenangan atau mengisi "kelaparan dan dahaga batinnya" dengan cara mengikuti ragam kegiatan spiritualitas, seperti pengajian atau majelis dzikir. Dalam kegiatan spiritualitas ini, adalah niscaya jika ada diantaranya yang mereformulasi, mereinterpretasi, dan merekonstruksi pemahaman dan sikap keberagamannya, seperti  cara berinteraksi atau berdialektika dengan Tuhan

Apalagi, saat ini masyarakat tengah hidup di belantara hedonisme, kapitalisme, instanisme yang pesonannya gampang memabukkan dan menjebak manusia larut sebagai pemujanya, yang mengakibatkan batinnya mengidap "kemiskinan" ketenangan. Ketika kondisi batin lagi butuh sentuhan dan kepuasan  nilai-nilai religiusitas ini, adalah logis jika mereka ingin menyelam dan masuk dalam telaga agama. Namanya juga upaya menyelam, tentulah  ada diantaranya yang bisa masuk ke tengah dan lebih dalam, namun ada pula yang hanya sampai pinggirannya.

Begitu pula, meski seseorang itu merasa punya agama secara formal, tahu legalitas (syarat rukun dan bahasa) salat misalnya, tetapi bukan tidak mungkin di dalam dirinya tetap terjangkit penyakit dahaga spiritualitas, pasalnya agama dan wahyu Tuhan  sebatas dikenal dan dipelajarinya, dan tidak dijadikan sebagai ruh sejati yang menguatkan dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun