Oleh: Abdul Wahid
Dosen Unisma Malang dan penulis buku
Pemerintah lebih serinng bermain dengan kata-kata atau mencoba menghibur masyarakat dengan berbagai bentuk janji menggiurkan ketika berkaitan dengan nasib orang miskin.Â
Ada kritik  Siapapun diantara elemen kekuasaan yang kantong perutnya sarat makanan atau sebatas "keranjang sampah" akibat bergulat dengan kepentingan pribadi, kerabat, dan kelompoknya, sementara kepentingan orang miskin ditelantarkan atau dijadikan obyek komoditinya, maka dirinya, meminjam istilah Imam KH (2007)  "tak ubahnya sebagai raga yang tak makna".
Namanya juga "raga tak bermakna", kehadirannya sebagai khalifah fil-ardl tidak bisa memberikan makna kemanfaatan dan berpraksis pembebebasan, kepemimpinannya tidak melahirkan keteladanan, dan sebaliknya menghadirkan dan mengasbsahkan penyimpangan.Â
Bukan penyejahteraan, pemanusiaan, dan pencerahan yang dilakukannya, melainkan aksi-aksi pemiskinan atau pembenaran perilaku kleptokrasi. Soal masyarakat mau mati kelaparan, cadangan pangan habis, kekurangan gizi, tidak bisa sekolah bermutu, kesehatannya memburuk, kejiwaannya labil, atau semakin tak berdaya, ini dianggapnya resiko dinamika sosial.
Sosok itu tak lagi bening pikirannya atau mengidap impotensi (tumpul) untuk menalar dan mengurai problem sosial keumatan. Pikirannya tak bisa cair dan cerdas dalam mengentas ketidakberdayaan  komunitas miskin, atau nalarnya tak cukup obyektif dan rasional untuk menerjemahkan dan memberikan solusi terhadap realitas kemustad'afinan (kesengsaraan sistemik dan komulatif) masyarakat
Potret perilaku pemimpin itu mudah dibaca. Kekuasaan seringkali membuatnya  gagal menjalankan atau menunjukkan tanggungjawabnya dengan benar, adil, jujur, dan memihak kepentingan orang miskin.Â
Kekuasaan yang membuatnya bisa duduk nyaman di singgasana bertabur keistimewaan privasi telah menyesatkanya dalam kesibukan berfoya-foya atau mengurus kepentingan perut, hobi baru seperti main golf, mengunjungi "wisata-wisata eksklusif", dan kesenangan-kesenangan yang tak bermanfaat bagi masyarakat.
Kasus itu menunjukkan, bahwa elit kekuasaan kita sedang mengidap krisis amanat kekuasaan atau mengalami "kemiskinan" komitmen menyucikan konstruksi penyelenggaraan kekuasaanya dari berbagai bentuk pola hidup memboroskan dan mengkleptokrasi (membenarkan pola pencurian/penjarahan) sumberdaya publik.
Mereka itu terbukti masih akrab tergelincir dalam pemberhalaan kekuasaan hanya demi memuaskan kepentingan biologis dan pengabsahan status sosialnya. Kalau saja komunitas elit ini tidak sampai tergelincir dalam praktik "pemiskinan" amanat kekuasaannya, tentulah tidak akan banyak kita temukan potret penderitaan atau ketidakberdayaan masyarakat.Â